Selasa, 25 April 2017

HERMEUNETIKA



HERMENEUTIKA
Diajukan untuk Dosen Pengampuh Mata Kuliah Bahasa Indonesia untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Akhir Semester





Oleh :
WAHYU DWI UTAMI
                                                      NIM. 1522502024




PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
JURUSAN USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2015

A.    PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang Masalah
Hermenutika merupakan sebuah fenomena baru dalam kajian Alquran.  Hermeneutika yang merupakan  teori  filsafat  mengenai  interpresasi  makna  teks  Alquran,  tidak  lagi  merupakan istilah yang diberikan oleh peneliti luar (outsider). Namun istilah tersebut telah di gunakan oleh  orang  Islam  sendiri  (insider).  Penggunaan  istilah  tersebut  tidak  sekedar  penggunaan istilah tetapi juga membawa konsekwensi pada perumusan metodologi. Perkembangan dunia modern  menimbulkan  gejala  terhadap  model  penafsiran  sebuah  teks.  Kegagalan  penafsir klasik dalam memperlakukan teks dianggap telah memperkosa sebuah teks itu sendiri. Teks dieksploitasi  sedemikian  rupa  tanpa  membiarkannya  hidup  dan  komunikatif  terhadap pembaca maupun penafsirnya. Sehingga terjadi distorsi teks yang mengakibatkan isi maupun kandungan teks tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang sangat pesat. Sehingga menimbulkan sikap skeptis (keraguan) terhadap kesempurnaan sebuah teks. Hal ini juga menimbulkan paradigma terhadap teks yang dipandang tidak lagi dibutuhkan di dunia  modern seperti ini. Oleh  karena  itulah,  hermeneutika  hadir  dalam  mengintegrasikan  konsep  penafsiran  kitab suci untuk memunculkan wacana baru terhadap realitas dunia modern.[1]

b.      Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud hermeneutika?
3.      Bagaimana langkah metode hermeneutika interpreasi ?








B.     TEORI HERMENEUTIKA DALAM PERSPEKTIF PAUL RICOEUR
Konsep Dasar Hermeneutika
Kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti “menafsirkan”, dan kata bendanya hermenein yang berarti “penafsiran” atau interpretasi”, dan hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).
Istilah Yunani berkenaan dengan kata “hermeneutik” ini dihubungkan dengan nama dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan (Sumaryono, 1999: 23-24)
Gambaran umum dari pengertian “hermeneutika” diungkapkan juag oleh sigmun bauman, yakni ”sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan vbagi pendengar atau pembaca” (via Faiz, 2003: 22)
Berangkat dari mitos Yunani itu, kata “hermeneutik” diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”, terutama prises ini melibatkan bahasa sebab bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses (Palmer, Terj. Hery, 2003: 15).
Menurut Palmer (2003:15-36) bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari herme>neuein, sebagai berikut.
Pertama,  herme>neuein  sebagai  “to  express”  (mengungkapkan),  “to assert” (menegaskan), atau “to say” (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.
Kedua,  herme>neuein  sebagai  “to  explain”  (menjelaskan),  interpretasi sebagai  penjelasan  menekankan  aspek  pemahaman  diskursif.  Interpretasi  lebih menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya,  membuatnya  jelas.  Seseorang  dapat  mengekspresikan situasi  tanpa  menjelaskannya,  dan  mengekspresikannya  merupakan  interpretasi, serta menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga,  herme>neuein  sebagai  “to  translate”.  Pada  dimensi  ini  “to interpret”  (menafsirkan)  bermakna  “to  translate”  (menerjemahkan)  yang merupakan  bentuk  khusus  dari  proses  interpretatif  dasar  “membawa  sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenarnya membentuk  pandangan  dunia,  bahkan  persepsi-persepsi  kita;  bahwa  bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini, kita dapat melihat melalui penglihatannya.
Dipilihnya  penggunaan  kata  “hermeneutika”  merupakan  bentuk  singular dari bahasa Inggris,  hermeneutics  dengan hurup “s”, dalam transliterasi Indonesia
disertakan  hurup  “a”  sehingga  menjadi  “hermeneutika”.  Dengan  memilih  istilah “hermeneutika”,  menurut  Palmer  (2003:  vii),  memiliki  keuntungan  antara  lain  : dapat  menunjuk  kepada  bidang  hermeneutika  secara  umum;  dan  membedakan spesifikasi,  misalnya  hermeneutik  Hans-Georg  Gadamer;  di  samping  itu, membedakannya dengan bentuk adjektif “hermeneutik” (hermeneutic  tanpa hurup “s”) atau “hermeneutis” (hermeneutical). Oleh sebab itu, “hermeneutik” cenderung terdengar sebagai adjektif, kecuali disertai “the”.
            Kata “hermeneutika” (hermeneutics)  merupakan  kata  benda (noun),  kata ini mengandung tiga arti : (1) ilmu penafsiran, (2) ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis, dan (3) penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab suci (Fakhruddin Faiz, 2003:21).
Namun, secara lebih aplikatif kata “hermeneutika” ini, menurut F. Budi Hardiman, bisa didefinisikan dalam tiga hal yaitu : (1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir; (2) usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang  maknanya tidak diketahui ke dalam  bahasa  lain  yang  bisa  dimengerti  oleh  pembaca;  dan  (3)  pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas (via Faiz, 2003:22).
Oleh sebab itu, “hermeneutika” selalu berurusan dengan tiga unsur dalam aktivitas penafsirannya, yaitu : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu oleh sang  Perantara  agar  bisa  dipahami  dan  sampai  kepada  yang  menerima  (Faiz, 2003:21).
Sebagai metode penafsiran, “hermeneutika” tidak saja berurusan dengan teks  yang  dihadapi secara tertutup,  melainkan  penafsiran teks tersebut  membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sejalan dengan pemahaman tersebut, Faiz  (2003:11)  menyebutnya  sebagai  “mempertimbangkan  horison-horison  yang melingkupi  teks  tersebut”,  yakni  horison  teks,  horison  pengarang,  dan  horison pembaca. Adapun alasan Faiz (2003:11-12) sebagai berikut.
Dengan mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman  ataupun  penafsiran  menjadi  kegiatan  rekonstruksi  dan  reproduksi makna  teks,  yang  di  samping  melacak  bagaimana  suatu  teks  itu  dimunculkan oleh  pengarangnya,  dan  muatan  apa  yang  masuk  dan  ingin  dimasukkan  oleh pengarang  ke  dalam  teks  yang  dibuatnya;  juga  berusaha  melahirkan  kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan  kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami.  Dengan  kata  lain,  sebagai  sebuah  metode  penafsiran,  hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.
Jika ditarik sejarah ke belakang, berangkat dari istilah yang diasumsikan kepada dewa Hermes itu, dan merunut kepada jaman Yunani klasik, pada masa itu Aristoteles  pun  sudah  berminat  kepada  penafsiran  (interpretasi),  dan  ia  pernah mengatakan dalam tulisannya Peri Hermeneias (De Interpretatione) bahwa :
“Kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak memiliki kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya. secara langsung itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana pengalamanpengalaman  imajinasi  kita  untuk  menggambarkan  sesuatu”  (via  Sumaryono, 1999:24).
Sejarah  mencatat  bahwa  istilah  “hermeneutika”  dalam  pengertian sebagai “ilmu tafsir” mulai muncul di abad ke-17, istilah ini dipahami dalam dua pengertian,  yaitu  hermeneutika  sebagai  seperangkat  prinsip  metodologis penafsiran, dan hermenutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami (Palmer, 2003:8).
            Hermeneutika  pada  awal  perkembangannya  lebih  sebagai  gerakan eksegesis  di kalangan gereja, kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” yang  dikembangkan  oleh  F.D.E.  Schleiermacher.  Ia  dianggap  sebagai  “Bapak Hermeneutika Modern” sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi  yang  tidak  terbatas  pada  kitab  suci  dan  sastra.  Kemudian,  Wilhelm Dilthey  mengembangkan  hermeneutika  sebagai  landasan  bagi  ilmu  kemanusiaan (Geisteswissenschaften).  Lalu,  Hans-Georg  Gadamer  mengembangkan hermeneutika  menjadi  metode  filsafat, terutama di dalam  bukunya  yang terkenal Truth and Method. Selanjutnya, hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh para filosof seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Perkembangan dari  hermeneutika  ini  merambah  ke  berbagai  kajian  keilmuan,  dan  ilmu  yang terkait  erat  dengan  kajian  hermeneutika  adalah  ilmu  sejarah,  filsafat,  hukum, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.
            Sekalipun  hermeneutika  mengalami  perkembangan  pesat  sebagai  “alat menafsirkan”  berbagai  kajian  keilmuan,  namun  demikian  jasanya  yang  paling besar ialah  dalam  bidang  ilmu  sejarah  dan  kritiks  teks,  khususnya  kitab  suci (Faiz, 2003:11; Syamsuddin, dkk., 2003:53).
            Dalam  perkembangannya,  hermeneutika  mengalami  perubahanperubahan, dan gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendifinisian hermeneutika  dengan  lengkap  diungkapkan  oleh  Richard  E.  Palmer  dalam bukunya  Hermeneutics  Interpretation  Theory  in  Schleirmacher,  Dilthey, Heiddeger, and Gadamer (1969), yang diterjemahkan oleh Musnur Hery menjadi Hermeneutika  Teori  Baru  mengenai  Interpretasi  (2003).  Dalam  buku  tersebut Palmer (2003:33) membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni  (1)  hermeneutika  sebagai  teori  penafsiran  kitab  suci,  (2)  hermeneutika sebagai  metode  filologi,  (3)  hermeneutika  sebagai  pemahaman  linguistik,  (4) hermeneutika  sebagai  fondasi  dari  ilmu  kemanusiaan  (Geisteswissenschaften), (5)  hermeneutika  sebagai  fenomenologi  dasein,  dan  (6)  hermeneutika  sebagai sistem interpretasi.
            Hal yang diungkapkan di depan hanyalah problem umum hermeneutika. Hal tersebut hanya dimaksudkan memberi gambaran singkat terhadap pengertian dan  konsep  dasar  hermeneutika  sehingga  menjadi  ancang-ancang  pemahaman tatkala  mengurai  hermeneutika  sebagai  sistem  interpretasi  terhadap kesusastraan.
Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur
            Dari  kesejarahan  hermeneutika,  Paul  Ricoeur  (lahir  1913  di  Valence, Perancis  Selatan)  yang  lebih  mengarahkan  hermeneutika  ke  dalam  kegiatan penafsiran  dan  pemahaman  terhadap  teks  (textual  exegesis).  Menurut  profesor filsafat di Universitas Nanterre (perluasan dari Universitas Sorbonne) ini, “Pada dasarnya  keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi.” Paul Ricoeur  sependapat  dengan  Nietzsche  bahwa  “Hidup  itu  sendiri  adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan” (Sumaryono, 1999:105; Permata, 2003:376).
            Untuk  mengkaji  hermeneutika  interpretasi  Paul  Ricoeur,  tidak  perlu melacak akarnya kepada perkembangan hermeneutika sebelumnya. Karenanya, Palmer  (2003:38-47)  pun  menempatkan  posisi  hermeneutika  Paul  Ricoeur sepenuhnya  terpisah  dari  tokoh-tokoh  hermeneutik  yang  dibahas  sebelumnya, yaitu  hermeneutika  teori  penafsiran  kitab  suci,  hermeneutika  metode  filologi, hermeneutika  pemahaman  linguistik,  hermeneutika  fondasi  dari  ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), dan hermeneutika fenomenologi dasein.
            Dalam  perspektif  Paul  Ricoeur,  juga  Emilio  Betti  yang  mewakili  tradisi hermeneutika  metodologis,  dan  keduanya  tokoh  hermeneutika  kontemporer, “Hermeneutika adalah kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca.” Namun, sebagaimana HansGeorg  Gadamer  yang  mewakili tradisi hermeneutika filosofis, Paul  Ricoeur juga menganggap bahwa “seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks” (Ricoeur, 2003:203).
            Melalui bukunya,  De l'interpretation  (1965), Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika merupakan “teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks”.  Menurutnya,  “tugas  utama  hermeneutik  ialah  di  satu  pihak  mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar  dan  memungkinkan  'hal'-nya  teks  itu  muncul  ke  permukaan”  (via Sumaryono, 1999:105).
            “Penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks” ini  menempatkan  kita harus  memahami  “What is a text?”  Dalam sebuah  artikelnya,  Paul  Ricoeur  mengatakan  bahwa  teks  adalah  “any  discourse fixed  by  writing”  (dalam  Thomson,  1982:145).  Dengan  istilah  “discourse”  ini, Paul  Ricoeur  merujuk  kepada  bahasa  sebagai  event,  yaitu  bahasa  yang membicarakan tentang sesuatu, bahasa yang di saat ia digunakan untuk 203  204Imaji, Vol.4, No.2, Agustus 2006 : 198 - 209  Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi  .....(Abdul Wachid B.S.)berkomunikasi.  Sementara  itu,  teks  merupakan  sebuah  korpus  yang  otonom, yang dicirikan oleh empat hal sebagai berikut.
1.      Dalam sebuah teks makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan (what is said),  terlepas dari proses pengungkapannya  (the act of saying),  sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan...
2.      Makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimanabahasa  lisan.  Apa  yang  dimaksud  teks  tidak  lagi  terkait  dengan  apa  yang  awalnya dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi  diperlukan,  ...  akan  tetapi,  maksud  penulis  sudah  terhalang  oleh  teks yang sudah membaku...
3.      Karena tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagiterikat  kepada  konteks  semula  (ostensive  reference),  ia  tidak  terikat  pada konteks  asli  dari  pembicaraan.  Apa  yang  ditunjuk  oleh  teks,  dengan demikian adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks  itu sendiri, dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks yang lain...
4.      Teks juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisanterikat  kepada  pendengarya.  Sebuah  teks  ditulis  bukan  untuk  pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada  ruang  dan  waktu...  Sebuah  teks  membangun  hidupnya  sendiri  karena sebuah teks adalah sebuah monolog” (Ricoeur via Permata, 2003:217-220).
            Paul Ricoeur mengalamatkan penafsiran kepada “tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks”. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah “interpretasi atas ekspresi-ekspresi  kehidupan  yang  ditentukan  secara  linguistik”  (Ricoeur  dalam Josef  Bleicher,  2003:347).  Hal  itu  sebab  seluruh  aktivitas  kehidupan  manusia berurusan  dengan  bahasa,  bahkan  semua  bentuk  seni  yang  ditampilkan  secara visual  pun diinterpretasi  dengan  menggunakan  bahasa.  “Manusia pada  dasarnya merupakan  bahasa,  dan  bahasa  itu  sendiri  merupakan  syarat  utama  bagi pengalaman manusia,” kata Paul Ricoeur (via Sumaryono, 1999:107). Karenanya, hermeneutik  adalah  cara  baru  'bergaul'  dengan  bahasa.  Oleh  sebab  itu,  penafsir bertugas untuk mengurai keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa.
            “Bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol, dan pengalaman juga dibaca melalui  pernyataan  atau  ungkapan  simbol-simbol”  (Ricoeur  via  Sumaryono, 1999:108). Oleh sebab itu pula, Paul Ricoeur memaknakan simbol secara lebih luas daripada para pengarang yang bertolak dari retorika Latin atau tradisi neo Platonik, yang mereduksi simbol menjadi analogi. Kata Paul Ricoeur :
            “Saya  mendifinisikan  'simbol'  sebagai  struktur  penandaan  yang  di dalamnya  sebuah  makna  langsung,  pokok  atau  literer  menunjuk  kepada,  sebagai tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif dan yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama”.
Sekali lagi, “Setiap  kata  adalah  sebuah simbol,”  tegas Paul  Ricoeur  (via Sumaryono,  1999:106).  Kata-kata  penuh  dengan  makna,  dan  intensi  yang tersembunyi.  Tidak  hanya  kata-kata  di  dalam  karya  sastra,  kata-kata  di  dalam bahasa  keseharian  juga  merupakan  simbol-simbol  sebab  menggambarkan  makna lain yang sifatnya tidak langsung, terkadang ada yang berupa bahasa kiasan, yangsemuanya  itu  hanya  dapat  dimengerti  melalui  simbol-simbol  itu.  Karenanya, simbol dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung  di  dalam  simbol  atau  kata-kata  di  dalam  bahasa.  Setiap  interpretasi adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung. Dalam konteks karya sastra, setiap interpretasi ialah usaha membuka lipatan makna yang terkandung di dalam  karya  sastra.  Oleh  sebab  itu,  “Hermeneutika  bertujuan  menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung dayadaya  yang  belum  diketahui  dan  tersembunyi  di  dalam  simbol-simbol  tersebut”. Dengan  begitu,  “Hermeneutik  membuka  makna  yang  sesungguhnya  sehingga dapat  mengurangi  keanekaan  makna  dari  simbol-simbol,”  kata  Paul  Ricoeur (dalam Josef Bleicher, 2003: 376).
Lalu,  bagaimana  interpretasi  dilakukan?  “Interpretasi”,  dalam  perspektif Paul  Ricoeur,  “adalah  karya  pemikiran  yang  terdiri  atas  penguraian  makna tersembunyi dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang tersirat di dalam makna  literer”.  “Simbol  dan  interpretasi  menjadi  konsep  yang  saling  berkaitan, interpretasi  muncul  di  mana  makna  jamak  berada,  dan  di  dalam  interpretasilah pluralitas makna termanifestasikan” (dalam Josef Bleicher, 2003: 376).
Menurut  Paul  Ricoeur,  interpretasi  dilakukan  dengan  cara  “perjuangan melawan  distansi  kultural”,  yaitu  penafsir  harus  mengambil  jarak  agar  ia  dapat melakukan  interpretasi  dengan  baik.  Namun,  yang  dimaksudkan  Paul  Ricoeur dengan  “distansi  kultural”  itu  tidaklah  steril  dari  “anggapan-anggapan”.  Di samping  itu,  yang  dimaksudkan  dengan  “mengambil  jarak  terhadap  peristiwa sejarah dan budaya” tidak berarti seseorang bekerja dengan “tangan kosong” (via E. Sumaryono, 1999:106). Posisi pembaca bekerja tidak dengan “tangan kosong” ini, seperti halnya posisi karya sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan kekosongan  budaya  (A.  Teuw,  1981:11).  Akan  tetapi,  seorang  pembaca  atau penafsir  itu  “masih  membawa  sesuatu  yang  oleh  Heideger  disebut  vorhabe  (apa yang ia miliki),  vorsicht  (apa yang ia lihat), dan  vorgriff  (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang dalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari “prasangka” (via E. Sumaryono, 1999:107).
Memang, setiap kali kita membaca suatu teks, tidak dapat menghindar dari “prasangka”  yang  dipengaruhi  oleh  kultur  masyarakat,  tradisi  yang  hidup  dari berbagai gagasan. Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, “sebuah teks harus kitatafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian, dan diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus” (Ibid. :108). Karenanya, sebuah  teks  selalu  berdiri  di  antara  penjelasan  struktural  dan  pemahaman hermeneutika,  yang  saling  berhadapan.  Penjelasan  struktural  bersifat  objektif, sedangkan pemahaman hermeneutika memberi kesan kita subjektif.
Dalam  upaya  interpretasi  teks  diperlukan  proses  hermeneutik  yang berbeda itu, menurut Paul Ricoeur, prosedur hermeneutikanya secara garis-besar dapat diringkas sebagai berikut.
1.      Pertama, teks harus dibaca dengan kesungguhan, menggunakan  symphatic imagination (imajinasi yang penuh rasa simpati).
2.      Kedua, penta'wil mesti terlibat dalam analisis struktural mengenai maksud penyajian teks, menentukan tanda-tanda  (dilal)  yang terdapat di  dalamnya sebelum  dapat  menyingkap  makna  terdalam  dan  sebelum  menentukan rujukan  serta  konteks  dari  tanda-tanda  signifikan  dalam  teks.  Barulah kemudian penta'wil memberikan beberapa pengandaian atau hipotesis.
3.      Ketiga,  penta'wil  mesti  melihat  bahwa  segala  sesuatu  yang  berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa (Hadi W.M., 2004:90-92).[2]
Teori Metafora
Metafora, kata Monroe, adalah “puisi dalam miniatur”. Metafora menguhubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini,  karya sastra merupakan karya wacana yang menyatuan makna eksplisit dan implisit. Perbedaan makna eksplisit dan implisit diperlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif,  yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan vokabuler denotasi dan. Wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur metafora (Ricoeur,  1976:43).
                     Metafora juga dapat diartikan sebagai bahasa kiasan seperti perbandingan. Hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti,  bagai,  laksana,  dan sebagainya. Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama yang sesungguhnya tidak sama (Rachmad Djoko Pradopo,  1987:66). Metafora akan diperoleh melalui preposisi (kalimat) sebagai unsur terkecil wacana,  dan bahasa mempunyai makna bila dipergunakan dalam kalimat. Puisi akan menemukan eksistensinya setelah diapresiasi dalam konstruksi preposisinya dan wacana.
                                    Dalam retorika tradisional,  metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata,  atau lebih tepatnya proses denominasi. Aristoteles,  dalam Poetic’s-nya,  menjelaskan bahwa metafora adalah “ penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain,  interefensi yang terjadi dari jenis ke spesies,  dari spesies ke jenis,  dari spesies ke spesies atau secara proporsional”. Tujuan majas adlah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu,  metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu,  metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasnya (Riceour,  1976: 45).
            Untuk itu, retorika klasik sebagai majas metafora dipandang sebagai substitusi, yaitu ketegangannya (tension) hanya terjadi pada wilayah interpretasi kata sehingga tidak menciptakan makna baru, tetapi hanya bersifat dekoratif-ornament. Metafora klasik ini hanya mencakup satu ‘bagian’ dari apa yang disebut Aristoteles dangan diksi, yaitu salah satu dari sekumpulan prosedur diskursif, penggunaan kata-kata yang tidak lazim, menciptakan kata-kata baru, mempersingkat atau memperpanjang kata-kata, yang semuanya menyimpang dari penggunaan kata-kata secara umum (Ricoeur,1981: 179). Konsep metafora klasik di atas, oleh Ricoeur (1976: 61) disebut dengan metafora mati (death metaphor).
            Sementara itu, metafora secara kreatif terjadi karena pesan paling sederhana yang disampaikan melalui bahasa yang alami, harus ditafsirkan, karena semua kata memiliki arti lebih dari satu (polisemi) dan baru mendapatkan aktualnya jika dikaitkan dengan konteks, dan audien yang ada, dan bukan dengan latar belakang situasi (Ricouer, 1977: 125). Metafora hidup atau inventif merupakan inovasi semantik yang bagian arti dari tatanan predikatif (kesesuaian baru) sekaligus tatanan (penyimpangan paradigmatis) (Ricoeur, 1977: 156-157).
            Dalam hal ini, metafora dianggap sebagai kreasi sejenak, suatu inovasi semantik yang tidak memliki status dalam bahasa yang mapan, dan yang hanya ada karena atribusi predikat yang luar biasa atau tidak diharapkan.dengan demikian, metafora lebih menyerupai pemecahan teka-teki daripada asosiasi sederhana yang didasarkan pada persamaan; metafora disusun oleh suatu pemecahan disonansi semantik. Metafora mengenal kekhasannya dari fenomena ini, yang membedakannya dari metafora mati, yang sesungguhnya bukan metafora. Metafora hidup adalah metafora inventif yang responsinya terhadap diskordansi dalam kalimat merupakan perluasan makna yang baru meskipun pasti benar bahwa metafora inventif semacam itu cenderung untuk menjadi metafora mati melalui repetasi (Ricoeur, 1976: 50).
Teori Simbol
Simbol dalam bahasa Inggris “symbol” yang berarti “lambang”. Simbol adalah lambang yang mewakili nilai-nilai tertentu. Wujud dari perwakilan ini sesungguhnya bukanlah sebuah kesamaan. Wujud tersebut lebih merupakan persamaan untuk mengilustrasikan fenomena, yaitu antara realitas sebelumnya, dengan sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan realitas tersebutdi dalam teks. Dari ungkapan itu diketahui bahwa pada hakekatnya simbol menerangkan adanya bentuk analogi. Bentuk analogi inilah yang dapat membentuk simbol untuk mengilustrasikan pemikiran atau realitas imajiner. Karena itu, simbol sering muncul dalam puisi untuk mewakili ungkapan penyair mengenai fenomena yang tidak dapat dilihat dengan mata, tapi dirasakan keberadaannya.
Pemakaian simbol di dalam puisi terjadi karena adanya bahasa kiasan (bentuk analogi,-pen), seperti metonimi, metafora, ataupun personifikasi (Wachid B.S., 2002: 105). Akan tetapi, apa yang diungkapkan oleh Abdul Wachid B.S. hanyalah gejala secara bahasa dan sedikit berbeda cerita apabila meneliti simbol berdasarkan ranah budayanya. Simbol di dalam puisi biasanya bersifat personal karena ditulis oleh penyair berdasarkan imajinasinya. Hal ini yang membedakan dengan simbol konvensional yang mengacu kepada kehidupan sehari-hari dan mampu menjadikan “simbol mati”. Kematian simbol lebih dikarenakan bahasa tersebut mengalami pembekuan menjadi istilah untuk menandai.
Dalam hal ini, ada perbedaansimbol dan tanda. Dalam teori semiotika diterangkan bahwa simbol pun merupakan bagian dari kajian tersebut, tetapi teori semiotika hanya membahas simbol dari proses bahasanya. Padahal, simbol muncul tidak hanya dalam proses sematik., tetapi juga non sematik.
Pada puisi sufi, simbol muncul dikarenakan adanya keterbatasn bahasa untuk mengilustrasikan pengalaman spiritual yang dialami di dimensi lain sehingga teks membutuhkan tamsil untuk menjelaskan konteks dan kontekstualisasinya. Munculnya simbol bukanlah pembunuhan makna, namun menciptakan makna yang konteksnya adalah pengalaman spiritual. Dalam kaitan ini, kepekaan yang luar biasa dapat menjadi tranformasi informasi pengalaman spiritual simbolik. Ada fakta bahwa puisi sufi semua keindahan dan semua realitas merupakan milik Allah, karenanya, bentuk atristik menjadi jalan untuk menerima ayat-ayat, bahkan secara langsung daripada yang ada di dalam nyata (Murata & Chittick, 2005: 445). Ada dua dimensi yang pada akhirnya diungkapkan menjadi bahasa simbolik atas pandangan terbatas yang dialami oleh manusia. Munculnya dua dimensi itu berdasarkan bentuk artistik keindahan realitas.[3]
Kata “simbol” berasal dari kata Yunani sumballo yang berarti menghubungkan atau “menggabungkan”. Simbol merupakan suatu tanda,  tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer,  harfiah,  yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004:119 dalam kurniawan).
Ricoeur mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini  mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutika (Bleicher, 2003: 376)
Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang terlalu banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang dibahas Ricoeur; (1) psikoanalisis, misalnya, berhubungan dengan mimpi-mimpi, gejala-gejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai penyimbolan konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol sebagai imaji istimewa suatu puisi; (3) kesejahteraan agama, yang diikat kepercayaan-kepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci.
Kedua, kosep simbol mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu suatu tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan struktur simbol berdasarkan makna signifikasi. Dimensi nonlinguistik hanya bisa dijelaskan oleh linguistik. Contoh; simbol “kakbah” bagi Islam berarti “wajah Tuhan”. Antara “kakbah” dan “wajah Tuhan” merupakan dimensi nonliguistik karena tidak ada hubungannya, “kakbah” makna semantiknya adalah “batu” kemudian berubah menjadi “Wajah Tuhan”. Akan tetapi, keduanya mempunyai dimensi linguistik karena “kakbah” dan “wajah Tuhan” mempunyai simbol semantik yang dibangun dari “kultur Islam”. Pada wilayah psikonalisis, menghubungkan simbolnya ke konflik psikis tersembunyi; kritik sastra, mengacu ke sesuatu yang seperti visi dunia atau hasrat untuk mengubah semua bahasa menjadi sastra; sejarah agama, melihat manifestasi Yang Suci (Ricoeur, 1976: 50-51).
Kompleksitas eksternal simbol ini dapat dijelaskan oleh teori metafora dengan tiga langkah; (1) mengidentifikasi benih semantik yang khas setiap simbol betapapun berbedanya masing-masin, berdasarkan struktur makna yang operatif dalam tuturan metaforis; (2) berfungsinya metaforis bahasa akan membebaskan kita untuk memisahkan strata nonlinguistik simbol, penyebarannya melalui metode kontas; (3) sebagai imbalanyya, pemahaman baru mengenai simbol ini akan menimbulkan perkembangan yang lebih jauh dalam teori metafora yang jika tidak tersembunyi. Dengan cara ini, teori simbol akan mengizinkan kita menyempurnakan teori metafora (Ricoeur, 1976: 52).
Ciri makna semantik simbol diidentifikasi dengan melihat hubungan makna harfisah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitkan dengan bahasa sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku ulang yang aspek simbol. Di siniteori metafora berguna mengungkap simbol sehingga metafora memahami pelanggaran semantik pada kalimat menjadi model untuk perluasan makna. Makna simbol bertentangan dengan makna harfiah. Namun, simbol sebenarnya menghasilkan dua tingkat makna. Dalam makna simbolis, tentu tidak ada dua makna, makadua itu menjadi satu tingkatan (gerakan) yang memindahkan dari tingkat satu (linguistik) ke tingkat (nonlinguistik) yang keduanya berasimilasi menjadi makna yang dicari.
Oleh karena itu, makna simbolik tersusun dalam dua makna. Makna pertama adalh satu-satunya sarana merasuki makna tambahan. Arti primer memberi makna sekuder, betul-betul sebgai arti dari suatu arti (the meaning of a meaning) (Ricoeu, 1976: 54). Simbol hubungan maknanya lebih kacau, tidak dapat dijabarkan dengan baik dan logis. Simbol berbicara tentang asimilasi/pembaruan bukan aprehensi/pengertian. Simbol mengasimilasi sesuatu yang ditandai dari satu hal ke hal lain. Inilah yang menyebabkan simbol begitu memukau meskipun menipu. Semua batas-batasnya kabar antara benda-benda dengan diri kita (Ricoeur, 1976: 55).
Simbol tidakbisa diatasi secara tuntas oleh bahasa konseptual, ada lebih banyak simbol daripada persamaan konseptualnya. Untuk mengidentifikasi sisi nonsemantik simbol dengan metode kontras, maka kita stuju menyebut semantik ciri-ciri simbol yang (1) memungkinkan analisis linguistik dan analisis logis berdasarkan makna dan interpratsi, dan (2) mempunyai persamaan metafora yang sesuai. Oleh karena itu, sesuatu dalam simbol tidak sesuai dengan metafora karena kenyataan ini menolak transkripsi linguistik, semantik, atau logik (Ricoeur, 1976: 56).
Keburaman simbol iniberkaitkan dengan keberakaran simbol di daerah pengalaman kita, misalnya, pada (1) psikonalisis, mempertimbnagkan mimpi sebagai paradigma untuk representasi yang disamarkan; (2) satra; imaji puitik tidak terikat pada bentuk global perilaku
(dicthen); (3) religius, manusia tidak menyerahkan diri pada hal yang supranatural. Dengan demikian, aktivitas simbolik tidak otonom. Simbol terikat banyak disiplin untuk membuka garis-garis yang mengikat banyak disiplin untuk membuka garis-garis yang mengikat fungsi simbolik ke aktvitas nonsimbolik ke aktivitas pralinguistik atau aktivitas nonsimbolik.
            Dalam simbol, semesta yang suci adalah kapasitas berbicara yang didasarkan pada kapasitas kosmos untuk dimaknai. Dengan demikian, logika makna, berjalan dari struktur semesta suci saja. Hukumnya adalah hukum kesekuaian, kesesuaian antara kreasi dalam in illo tempore dan tatanan penampilan alamiah yang ada dan aktifitas manusia. Misalnya, kuli dimaknai sesuai dengan model surgawi (Ricoeur, 1976: 54).
            Logika kesesuaian itulah yang mengikat wacana pada semesta Yang Suci: kita bahkan mengatakan bahwa selalu dengan bantuan wacana logika ini menampakkan dirinya karena jika tidak ada mitos yang menceritakan bagaimana benda-benda itu muncul, atau jika tidak ada ritual yang mengulang kembali proses ini, Yang Suci tidak tampak.
            Simbolisme hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika minimal diperlukan demi berfungsinya simbolisme apa pun. Akan tetapi, penjabaran linguistik ini tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan pada simbolisme yang khas semesta suci. Penafsiran suatu simbolisme, bahkan, tidak dapat terjadi jika karya mediasinya tidak disahkan oleh hubungan langsung antara makna dalam hierofani itu di bawah pertimbngan. Kesucian alam membuka dirinya dalam mengatakan dirinyasecara simbolik (Ricoeur, 1976: 68).[4]

           




















PEMBAHASAN

METAFORA DALAM SAJAK “BIJI”
Metafora dalam sajak  “biji” menyiratkan suatu arti tentang sebuah benih cinta. Benih cinta biasanya berhubungan dengan perasaan “cinta” yang ditimbulkan dari sepasang kekasih. Benih cinta disini merupakan proses awal sepasang kekasih bersatu dalam satu ikatan cinta . Seperti layaknya benang sari yang jatuh dari sebuah bunga jantan jatuh ke kepala putik bunga betina. Dengan demikian sajak ini mengaitkan dengan “”

(1)   Biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman
Ketika kau aku saling pandang berlamalama
Setelah pencairan bertahuntahun melewati lembah dan gurun
Akhirnya kau aku kejatuhan biji cinta itu

Bait pertama diatas mengungkapkan kesadaran akan timbulnya “perasaan cinta” . metafora-pernyataan (statement;metaphor) muncul proposisi “akhirnya kau aku kejatuhan biji cinta itu” yang terjadi “setelah pencairan bertahuntahun melewati lembah dan gurun”, “benih cinta” disebut metafora-pernyataan (statement;metaphor) karena komposisinya sudah memenuhi syarat sebagai proposisi, yaitu minimal dibangun atas unsur subjek sebagai identifikasi “pencarian” dan unsur prediksai-umum sebagai predikasi “kejatuhan biji cinta”, sedangkan “biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman” sebagai adsurbsi keterangan tempat dan “ketika kau aku saling pandag berlamalama” sebagai adsurbsi keterangan kondisi.
“Biji cinta” merupakan suatu hasil dimana perasaan sepasang kekasih dipertemukan dan bersatu menjadikan sesuatu yang akan tumbuh “di sebuah taman” yakni ruang hati sepasang kekasih tersebut.   Keabsurditasan kalimat-metaforis “biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman” menyiratkan suatu perasaan cinta yang muncul dalam ruang hati seseorang. Perasaan itu muncul “ketika kau aku saling pandang berlamalama”. Kemudian dipertegas lagi “akhirnya kau aku kejatuhan lagi biji cinta itu” yang menyiratkan bersatunya kembali perasaan sepasang kekasih “setelah pencarian bertahuntahun melewati lembah dan gurun”.
Dengan demikian, sense pada bait pertama ini mewacanakan tentang “cinta”, perasaan cinta sepasang kekasih yang bersatu kembali setelah pencarian bertahuntahun.



(2)   Bertemu disini, di sebuah taman lain
Biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
Disuburkan oleh musim hujan dan
Nafas kau aku yang begitu gemuruh

Bait kedua di atas, terbangun atas satu proposisi yang terdiri atas “bertemu di sini”
sebagai identifikasi-singular, “di sebuah taman lain” sebagai atribusi-keterangan tempat. Konsep metaforanya terdapat pada level antarbaris, yang tension wacananya terjadi pada baris kedua dan ketiga. “biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang” sebagai metafora-pernyataan (statement metaphor) mengasosiakan janji suci, sedangkan “disuburkan oleh musim hujan dan” mengasosiakan kepercayaan.
            Wacana yang muncul dalam metafora –pernyataan baris kedua dan ketiga adalah janji suci antara sepasang kekasih dengan saling menjaga kepercayaan satu sama lain. Dengan begitu “nafas kau aku yang begitu gemuruh” yang berarti kedamaian yang tercipta karena sepasang kekasih yang saling menjaga kepercayaan dalam ikatan dan janji suci.

(3)   Ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan
Ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
Dan ketika malam purnama ia memberi ruang kau aku untuk bercinta

            Bait ketiga di atas, menggambarkan hambatan dan rintangan yang dihadapi pasangan. “ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan” pada baris pertama, “terik matahari” menyiratkan tentang cobaan yang dihadapi pasangan dalam menjalin hubungan yang menimbulkan pertengkaran. “pohon” yang sudah dijelaskan di atas yang berarti janji suci “itu memberi kesejukan” yang diasosiakan perdamaian. Sehingga pada baris pertama itu mengungkapkan bahwa perdamaian dapat dicapai untuk mencegah hambatan yang dapat  menimbulkan pertengkaran dengan selalu mengingat janji suci yang pernah diungkapkan sebelumnya. Sedangkan baris ketiga “ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk” lebih menegaskan lagi dari ungkapan yang terkandung pada baris pertama. Hanya saja cobaan itu digambarkan dengan “hujan” yang dapat membuat rapuh suatu hubungan pasangan. “dan ketika malam purnama ia memberi ruang kau aku untuk bercinta”  pada baris ketiga, “malam purnama ia memberi ruang” menyiratkan tentang ketentraman yang tercipta karena pasangan yang saling menjaga kepercayaan dan janji suci sehingga “memberi ruang kau aku untuk bercinta” yang berarti terciptanya hubungan yang harmonis.
              Dengan demikian, bait ketiga di atas mewacanakan tentang segala hambatan dan rintangan yang dihadapi pasangan dapat dilalui dengan saling menjaga kepercayaan dan senantiasa menciptakan hubungan yang harmonis.
(4)   Tetapi .... tetapi ....
Kau aku lupa siapa pemilik taman ini

Pada bait pertama sebelumnya telah diuangkapkan “taman” yang dimaknai seperti ruang hati seseorang. Setelah dianalisa pada bait-bait sebelumnya bahwa sepasang kekasih yang bertemu dan saling menyatukan perasaan satu sama lain, yang menyebabkan pasangan itu “lupa siapa pemilik taman ini” yang berarti bahwa ruang hati pasangan tersebut sebelumnya sudah menjadi milik orang lain.

 SIMBOL “BIJI”
Simbol “biji” pada puisi “biji” menjadi kerangka transedental “cinta”. Dari empatbait puisi di atas, simbol “biji” menduduki peristiwa yang utama karena isi kalimat-kalimat selanjutnya merupakan penjelasan atas makna filosofi simbol biji. Dalam analisis metafora yang telah dilakukan,”biji” menunjukkan suatu perumpamaan benih cinta. Dalam hal ini, dapat dijelaskan bahwa “cinta tidak akan tumbuh tanpa benih cinta”. Oleh karena itu, “biji” membentuk suatu pemikiran yang filosofis. Sebagai wacana, “biji”, selain sebagai metafora-kata, pada tigkat yang lebih dalam dapat diposisikan sebagai simbol yang lebih dalam.
“Biji” hakikatnya adalah sesuatu yang dijadikan proses awal pertumbuhan sesuatu. Konsep dasar pada puisi “biji” sebagai perumpamaan awal munculnya perasaan cinta seseorang.
(1)   Biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman
Ketika kau aku saling pandang berlamalama
Setelah pencairan bertahuntahun melewati lembah dan gurun
Akhirnya kau aku kejatuhan biji cinta itu
...

Penggalan bait di atas menjelaskan perasaan cinta yang muncul saat pasangan bertemu kembali setelah sekian lama mereka tidak berhubungan bertahun-tahun. Jika pada bait pertama sajak “biji” menyebabkan munculnya perasaan cinta, maka bait kedua memperlihatkan pandangan yang  jelas tentang proses selanjutnya setelah perasaan itu muncul.
Asosiasi yang dibangun adalah pertemuan, benih cinta, dan cinta. Citraan itu dihadirkan dalam suasana yang romantis. Oleh karenanya, sekalipun suasana menghadirkan keramaian tetapi esensinya tetap terasa bahwa dunia ini milik mereka berdua.

(2)   Bertemu disini, di sebuah taman lain
Biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
Disuburkan oleh musim hujan dan
Nafas kau aku yang begitu gemuruh

Simbol “biji” dan “taman” pada puisi “Biji” mempresentasikan makna kehidupan cinta yang esensinya adalah romantis. “biji” sebagai bentuk yang jatuh dan tumbuh menjadi pohon “janji suci” di sebuah taman “ruang hati” membuatnya mempunyai kesadaran tranendental dalam memahami hakikat cinta.

(3)   Ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan
Ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
Dan ketika malam purnama ia memberi ruang kau aku untuk bercinta

Bait ketiga ini menjelaskan bahwa “terik matahari” atau “hujan” inilah yang akan menjadi hambatan dalam pasangan dalam menjalin hubungan. Dengan saling memegang kepercayaan dan janji suci “pohon” akan mengantarkan kebahasgiaan. Akan tetapi pada faktanya, pada bait keempat “kau aku lupa siapa pemilik tamn ini” yang mengungkapkan bahwa sebenarnya ruang hati “taman” telah menjadi milik orang lain.

KONSEP MISTISISME CAHAYA
Konsep mistisisme cahaya pada puisi “biji” berangkat dari kesadaran “cinta” tentang proses awal hubungan sepasang kekasih yang disimbolkan dengan “biji”. Manusia dipeersepsi sebagai bagian dari kehidupan yang hakikatnya adalah romantis. Keadaan inimenyebabkan potensi manusia untuk larut dalam kehidupan.
Kesadaran transendental “cinta” dalam puisi “biji”, dalam hubungannya dengan kehidupan duniawi, menimbulkan kesadaran yang bersumber dari “biji”, yaitu: harapan bahwa hubungan yang bahagia hubungan sepasang kekasih namun pada kenyataannya orang lain sudah memilikinya lebih dulu.




[2] Abdul Wachid B.S., Gandrung Cinta: Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 16-34
[3]  Arif Hidayat, Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana Kritis (Purwokerto Selatan: Kaldera, 2015), hlm. 8-11
[4]Heru Kurniawan, Mistisisme Cahaya. Purwokerto. Kaldera. 2013. Hlm 18-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN PENELITIAN TAKHRIJ HADIST TENTANG “MENCACI-MAKI ORANG-ORANG MUSYRIK”

LAPORAN PENELITIAN TAKHRIJ HADIST TENTANG “MENCACI-MAKI ORANG-ORANG MUSYRIK” ...