HERMENEUTIKA
Diajukan untuk Dosen Pengampuh Mata
Kuliah Bahasa Indonesia untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Akhir Semester
Oleh :
WAHYU DWI UTAMI
NIM.
1522502024
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
JURUSAN USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2015
A.
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Hermenutika merupakan sebuah fenomena baru dalam kajian
Alquran. Hermeneutika yang
merupakan teori filsafat
mengenai interpresasi makna
teks Alquran, tidak
lagi merupakan istilah yang
diberikan oleh peneliti luar (outsider). Namun istilah tersebut telah di
gunakan oleh orang Islam
sendiri (insider). Penggunaan
istilah tersebut tidak
sekedar penggunaan istilah tetapi
juga membawa konsekwensi pada perumusan metodologi. Perkembangan dunia
modern menimbulkan gejala
terhadap model penafsiran
sebuah teks. Kegagalan
penafsir klasik dalam memperlakukan teks dianggap telah memperkosa
sebuah teks itu sendiri. Teks dieksploitasi
sedemikian rupa tanpa
membiarkannya hidup dan
komunikatif terhadap pembaca
maupun penafsirnya. Sehingga terjadi distorsi teks yang mengakibatkan isi
maupun kandungan teks tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang sangat
pesat. Sehingga menimbulkan sikap skeptis (keraguan) terhadap kesempurnaan
sebuah teks. Hal ini juga menimbulkan paradigma terhadap teks yang dipandang
tidak lagi dibutuhkan di dunia modern
seperti ini. Oleh karena itulah,
hermeneutika hadir dalam
mengintegrasikan konsep penafsiran
kitab suci untuk memunculkan wacana baru terhadap realitas dunia modern.[1]
b.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud hermeneutika?
3.
Bagaimana
langkah metode hermeneutika interpreasi ?
B.
TEORI
HERMENEUTIKA DALAM PERSPEKTIF PAUL RICOEUR
Konsep Dasar Hermeneutika
Kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang
berarti “menafsirkan”, dan kata bendanya hermenein yang berarti
“penafsiran” atau interpretasi”, dan hermeneutes yang berarti interpreter
(penafsir).
Istilah Yunani berkenaan dengan kata “hermeneutik” ini dihubungkan
dengan nama dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan
pesan-pesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan
dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh
manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalahpahaman dalam
menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak
itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan,
dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut
disampaikan (Sumaryono, 1999: 23-24)
Gambaran umum dari pengertian “hermeneutika” diungkapkan juag oleh
sigmun bauman, yakni ”sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan
pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur,
remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan vbagi pendengar
atau pembaca” (via Faiz, 2003: 22)
Berangkat dari mitos Yunani itu, kata “hermeneutik” diartikan
sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”,
terutama prises ini melibatkan bahasa sebab bahasa merupakan mediasi paling
sempurna dalam proses (Palmer, Terj. Hery, 2003: 15).
Menurut Palmer (2003:15-36) bahwa mediasi dan proses membawa pesan
“agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga
bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia. Tiga
bentuk tersebut menggunakan verba dari herme>neuein, sebagai berikut.
Pertama, herme>neuein sebagai “to
express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan), atau “to
say” (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari
Hermes.
Kedua, herme>neuein sebagai “to
explain” (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan
menekankan aspek pemahaman
diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan
daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari
kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu,
merasionalisasikannya, membuatnya jelas.
Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa
menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan
interpretasi, serta menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, herme>neuein sebagai “to
translate”. Pada dimensi
ini “to interpret” (menafsirkan)
bermakna “to translate” (menerjemahkan) yang merupakan bentuk
khusus dari proses
interpretatif dasar “membawa
sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang
asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu
sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan
dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata
sebenarnya membentuk pandangan dunia,
bahkan persepsi-persepsi kita;
bahwa bahasa adalah
perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui
media ini, kita dapat melihat melalui penglihatannya.
Dipilihnya penggunaan kata
“hermeneutika” merupakan bentuk
singular dari bahasa Inggris, hermeneutics
dengan hurup “s”, dalam transliterasi
Indonesia
disertakan hurup
“a” sehingga menjadi
“hermeneutika”. Dengan memilih
istilah “hermeneutika”,
menurut Palmer (2003:
vii), memiliki keuntungan
antara lain : dapat
menunjuk kepada bidang
hermeneutika secara umum;
dan membedakan spesifikasi, misalnya
hermeneutik Hans-Georg Gadamer;
di samping itu, membedakannya dengan bentuk adjektif
“hermeneutik” (hermeneutic tanpa
hurup “s”) atau “hermeneutis” (hermeneutical). Oleh sebab itu,
“hermeneutik” cenderung terdengar sebagai adjektif, kecuali disertai “the”.
Kata “hermeneutika” (hermeneutics) merupakan
kata benda (noun), kata ini mengandung tiga arti : (1) ilmu
penafsiran, (2) ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata
dan ungkapan penulis, dan (3) penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada
penafsiran kitab suci (Fakhruddin Faiz, 2003:21).
Namun, secara lebih aplikatif kata “hermeneutika” ini, menurut F.
Budi Hardiman, bisa didefinisikan dalam tiga hal yaitu : (1) mengungkapkan
pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai
penafsir; (2) usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa
lain yang bisa
dimengerti oleh pembaca;
dan (3) pemindahan ungkapan pikiran yang kurang
jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas (via Faiz, 2003:22).
Oleh sebab itu, “hermeneutika” selalu berurusan dengan tiga unsur
dalam aktivitas penafsirannya, yaitu : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi
sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa
oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu
oleh sang Perantara agar
bisa dipahami dan
sampai kepada yang
menerima (Faiz, 2003:21).
Sebagai metode penafsiran, “hermeneutika” tidak saja berurusan
dengan teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan
penafsiran teks tersebut membuka
diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sejalan dengan pemahaman tersebut,
Faiz (2003:11) menyebutnya
sebagai “mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks
tersebut”, yakni horison
teks, horison pengarang,
dan horison pembaca. Adapun
alasan Faiz (2003:11-12) sebagai berikut.
Dengan
mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun
penafsiran menjadi kegiatan
rekonstruksi dan reproduksi makna teks,
yang di samping
melacak bagaimana suatu
teks itu dimunculkan oleh pengarangnya,
dan muatan apa
yang masuk dan
ingin dimasukkan oleh pengarang ke
dalam teks yang
dibuatnya; juga berusaha
melahirkan kembali makna tersebut
sesuai dengan situasi dan kondisi saat
teks tersebut dibaca atau dipahami.
Dengan kata lain,
sebagai sebuah metode
penafsiran, hermeneutika
memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu
teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.
Jika ditarik sejarah ke belakang, berangkat dari istilah yang
diasumsikan kepada dewa Hermes itu, dan merunut kepada jaman Yunani klasik,
pada masa itu Aristoteles pun sudah
berminat kepada penafsiran
(interpretasi), dan ia
pernah mengatakan dalam tulisannya Peri Hermeneias (De Interpretatione)
bahwa :
“Kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental
kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita
ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan
dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak memiliki kesamaan bahasa ucapan
dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang
disimbolkannya. secara langsung
itu adalah sama untuk semua orang, sebagaimana pengalamanpengalaman imajinasi
kita untuk menggambarkan
sesuatu” (via Sumaryono, 1999:24).
Sejarah mencatat bahwa
istilah “hermeneutika” dalam
pengertian sebagai “ilmu tafsir” mulai muncul di abad ke-17, istilah ini
dipahami dalam dua pengertian,
yaitu hermeneutika sebagai
seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan hermenutika
sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindarkan
dari kegiatan memahami (Palmer, 2003:8).
Hermeneutika pada
awal perkembangannya lebih
sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja, kemudian berkembang
menjadi “filsafat penafsiran” yang
dikembangkan oleh F.D.E.
Schleiermacher. Ia dianggap
sebagai “Bapak Hermeneutika
Modern” sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang
tidak terbatas pada
kitab suci dan
sastra. Kemudian, Wilhelm Dilthey mengembangkan
hermeneutika sebagai landasan
bagi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Lalu,
Hans-Georg Gadamer mengembangkan hermeneutika menjadi
metode filsafat, terutama di
dalam bukunya yang terkenal Truth and Method. Selanjutnya,
hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh para filosof seperti Paul Ricoeur,
Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Perkembangan dari hermeneutika
ini merambah ke
berbagai kajian keilmuan,
dan ilmu yang terkait
erat dengan kajian
hermeneutika adalah ilmu
sejarah, filsafat, hukum, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan
tentang kemanusiaan.
Sekalipun hermeneutika
mengalami perkembangan pesat
sebagai “alat menafsirkan” berbagai
kajian keilmuan, namun
demikian jasanya yang
paling besar ialah dalam bidang
ilmu sejarah dan
kritiks teks, khususnya
kitab suci (Faiz, 2003:11;
Syamsuddin, dkk., 2003:53).
Dalam perkembangannya, hermeneutika
mengalami perubahanperubahan, dan
gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendifinisian hermeneutika dengan
lengkap diungkapkan oleh
Richard E. Palmer
dalam bukunya Hermeneutics Interpretation Theory
in Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger, and Gadamer (1969), yang
diterjemahkan oleh Musnur Hery menjadi Hermeneutika Teori
Baru mengenai Interpretasi
(2003). Dalam buku
tersebut Palmer (2003:33) membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam
kategori, yakni (1) hermeneutika
sebagai teori penafsiran
kitab suci, (2)
hermeneutika sebagai metode filologi,
(3) hermeneutika sebagai
pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai
fondasi dari ilmu
kemanusiaan (Geisteswissenschaften),
(5) hermeneutika sebagai
fenomenologi dasein, dan
(6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
Hal yang diungkapkan di depan
hanyalah problem umum hermeneutika. Hal tersebut hanya dimaksudkan memberi
gambaran singkat terhadap pengertian dan
konsep dasar hermeneutika
sehingga menjadi ancang-ancang
pemahaman tatkala mengurai hermeneutika
sebagai sistem interpretasi
terhadap kesusastraan.
Hermeneutika
sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur
Dari
kesejarahan hermeneutika, Paul
Ricoeur (lahir 1913
di Valence, Perancis Selatan)
yang lebih mengarahkan
hermeneutika ke dalam
kegiatan penafsiran dan pemahaman
terhadap teks (textual
exegesis). Menurut profesor filsafat di Universitas Nanterre
(perluasan dari Universitas Sorbonne) ini, “Pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi
terhadap interpretasi.” Paul Ricoeur
sependapat dengan Nietzsche
bahwa “Hidup itu
sendiri adalah interpretasi. Bila
terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan” (Sumaryono,
1999:105; Permata, 2003:376).
Untuk mengkaji
hermeneutika interpretasi Paul Ricoeur, tidak
perlu melacak akarnya kepada perkembangan hermeneutika sebelumnya.
Karenanya, Palmer (2003:38-47) pun
menempatkan posisi hermeneutika
Paul Ricoeur sepenuhnya terpisah
dari tokoh-tokoh hermeneutik
yang dibahas sebelumnya, yaitu hermeneutika
teori penafsiran kitab
suci, hermeneutika metode
filologi, hermeneutika
pemahaman linguistik, hermeneutika
fondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), dan
hermeneutika fenomenologi dasein.
Dalam perspektif
Paul Ricoeur, juga
Emilio Betti yang
mewakili tradisi
hermeneutika metodologis, dan
keduanya tokoh hermeneutika
kontemporer, “Hermeneutika adalah kajian untuk menyingkapkan makna
objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca.”
Namun, sebagaimana HansGeorg
Gadamer yang mewakili tradisi hermeneutika filosofis,
Paul Ricoeur juga menganggap bahwa
“seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan
sebagai acuan utama dalam memahami teks” (Ricoeur, 2003:203).
Melalui bukunya, De l'interpretation (1965), Paul Ricoeur mengatakan bahwa
hermeneutika merupakan “teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu
penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap
sebagai teks”. Menurutnya, “tugas
utama hermeneutik ialah
di satu pihak
mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah
teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk
memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan
'hal'-nya teks itu
muncul ke permukaan”
(via Sumaryono, 1999:105).
“Penafsiran terhadap teks tertentu,
atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks” ini menempatkan
kita harus memahami “What is a text?” Dalam sebuah
artikelnya, Paul Ricoeur
mengatakan bahwa teks
adalah “any discourse fixed by
writing” (dalam Thomson,
1982:145). Dengan istilah
“discourse” ini, Paul Ricoeur
merujuk kepada bahasa
sebagai event, yaitu
bahasa yang membicarakan tentang
sesuatu, bahasa yang di saat ia digunakan untuk 203 204Imaji, Vol.4, No.2, Agustus 2006 : 198 -
209 Hermeneutika Sebagai Sistem
Interpretasi .....(Abdul Wachid B.S.)berkomunikasi. Sementara
itu, teks merupakan
sebuah korpus yang
otonom, yang dicirikan oleh empat hal sebagai berikut.
1.
Dalam
sebuah teks makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan (what is said), terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu
tidak dapat dipisahkan...
2.
Makna
sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimanabahasa lisan.
Apa yang dimaksud
teks tidak lagi
terkait dengan apa
yang awalnya dimaksudkan oleh
penulisnya. Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan,
... akan tetapi,
maksud penulis sudah terhalang
oleh teks yang sudah membaku...
3.
Karena
tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak
lagiterikat kepada konteks
semula (ostensive reference),
ia tidak terikat
pada konteks asli dari
pembicaraan. Apa yang
ditunjuk oleh teks,
dengan demikian adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri, dalam dirinya sendiri maupun
dalam hubungannya dengan teks-teks yang lain...
4.
Teks
juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa
lisanterikat kepada pendengarya.
Sebuah teks ditulis
bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun
yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada
ruang dan waktu...
Sebuah teks membangun
hidupnya sendiri karena sebuah teks adalah sebuah monolog” (Ricoeur
via Permata, 2003:217-220).
Paul Ricoeur mengalamatkan
penafsiran kepada “tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks”. Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah “interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan
yang ditentukan secara
linguistik” (Ricoeur dalam Josef
Bleicher, 2003:347). Hal
itu sebab seluruh
aktivitas kehidupan manusia berurusan dengan
bahasa, bahkan semua
bentuk seni yang
ditampilkan secara visual pun diinterpretasi dengan
menggunakan bahasa. “Manusia pada
dasarnya merupakan bahasa, dan
bahasa itu sendiri
merupakan syarat utama
bagi pengalaman manusia,” kata Paul Ricoeur (via Sumaryono, 1999:107).
Karenanya, hermeneutik adalah cara
baru 'bergaul' dengan
bahasa. Oleh sebab
itu, penafsir bertugas untuk
mengurai keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam
bahasa.
“Bahasa dinyatakan dalam bentuk
simbol, dan pengalaman juga dibaca melalui
pernyataan atau ungkapan
simbol-simbol” (Ricoeur via
Sumaryono, 1999:108). Oleh sebab itu pula, Paul Ricoeur memaknakan
simbol secara lebih luas daripada para pengarang yang bertolak dari retorika
Latin atau tradisi neo Platonik, yang mereduksi simbol menjadi analogi. Kata
Paul Ricoeur :
“Saya mendifinisikan 'simbol'
sebagai struktur penandaan
yang di dalamnya sebuah
makna langsung, pokok
atau literer menunjuk
kepada, sebagai tambahan, makna
lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif dan yang dapat dipahami hanya
melalui yang pertama”.
Sekali lagi, “Setiap
kata adalah sebuah simbol,” tegas Paul
Ricoeur (via Sumaryono, 1999:106).
Kata-kata penuh dengan
makna, dan intensi
yang tersembunyi. Tidak hanya
kata-kata di dalam
karya sastra, kata-kata
di dalam bahasa keseharian
juga merupakan simbol-simbol
sebab menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung,
terkadang ada yang berupa bahasa kiasan, yangsemuanya itu
hanya dapat dimengerti
melalui simbol-simbol itu.
Karenanya, simbol dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai
pluralitas makna yang terkandung di dalam
simbol atau kata-kata
di dalam bahasa.
Setiap interpretasi adalah upaya
untuk membongkar makna yang terselubung. Dalam konteks karya sastra, setiap
interpretasi ialah usaha membuka lipatan makna yang terkandung di dalam karya
sastra. Oleh sebab
itu, “Hermeneutika bertujuan
menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara
membuka selubung dayadaya yang belum
diketahui dan tersembunyi
di dalam simbol-simbol
tersebut”. Dengan begitu, “Hermeneutik
membuka makna yang
sesungguhnya sehingga dapat mengurangi
keanekaan makna dari
simbol-simbol,” kata Paul
Ricoeur (dalam Josef Bleicher, 2003: 376).
Lalu, bagaimana interpretasi
dilakukan? “Interpretasi”, dalam
perspektif Paul Ricoeur, “adalah
karya pemikiran yang
terdiri atas penguraian
makna tersembunyi dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang
tersirat di dalam makna literer”. “Simbol
dan interpretasi menjadi
konsep yang saling
berkaitan, interpretasi
muncul di mana
makna jamak berada,
dan di dalam
interpretasilah pluralitas makna termanifestasikan” (dalam Josef
Bleicher, 2003: 376).
Menurut Paul Ricoeur,
interpretasi dilakukan dengan
cara “perjuangan melawan distansi
kultural”, yaitu penafsir
harus mengambil jarak
agar ia dapat melakukan interpretasi
dengan baik. Namun,
yang dimaksudkan Paul
Ricoeur dengan “distansi kultural”
itu tidaklah steril
dari “anggapan-anggapan”. Di samping
itu, yang dimaksudkan
dengan “mengambil jarak
terhadap peristiwa sejarah dan
budaya” tidak berarti seseorang bekerja dengan “tangan kosong” (via E.
Sumaryono, 1999:106). Posisi pembaca bekerja tidak dengan “tangan kosong” ini,
seperti halnya posisi karya sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan
kekosongan budaya (A.
Teuw, 1981:11). Akan
tetapi, seorang pembaca
atau penafsir itu “masih
membawa sesuatu yang
oleh Heideger disebut
vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht
(apa yang ia lihat), dan
vorgriff (apa yang akan menjadi
konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang dalam interpretasi tidaklah
dapat menghindarkan diri dari “prasangka” (via E. Sumaryono, 1999:107).
Memang, setiap kali kita membaca suatu teks, tidak dapat menghindar
dari “prasangka” yang dipengaruhi
oleh kultur masyarakat,
tradisi yang hidup
dari berbagai gagasan. Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, “sebuah
teks harus kitatafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian, dan
diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus” (Ibid.
:108). Karenanya, sebuah teks selalu
berdiri di antara
penjelasan struktural dan
pemahaman hermeneutika, yang saling
berhadapan. Penjelasan struktural
bersifat objektif, sedangkan
pemahaman hermeneutika memberi kesan kita subjektif.
Dalam upaya interpretasi
teks diperlukan proses
hermeneutik yang berbeda itu, menurut
Paul Ricoeur, prosedur hermeneutikanya secara garis-besar dapat diringkas
sebagai berikut.
1.
Pertama,
teks harus dibaca dengan kesungguhan, menggunakan symphatic imagination (imajinasi yang penuh
rasa simpati).
2.
Kedua,
penta'wil mesti terlibat dalam analisis struktural mengenai maksud penyajian
teks, menentukan tanda-tanda
(dilal) yang terdapat di dalamnya sebelum dapat
menyingkap makna terdalam
dan sebelum menentukan rujukan serta
konteks dari tanda-tanda
signifikan dalam teks.
Barulah kemudian penta'wil memberikan beberapa pengandaian atau
hipotesis.
3.
Ketiga, penta'wil
mesti melihat bahwa
segala sesuatu yang
berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu merupakan pengalaman
tentang kenyataan non-bahasa (Hadi W.M., 2004:90-92).[2]
Teori Metafora
Metafora, kata Monroe, adalah “puisi dalam
miniatur”. Metafora menguhubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam
karya sastra. Dalam hal ini, karya
sastra merupakan karya wacana yang menyatuan makna eksplisit dan implisit.
Perbedaan makna eksplisit dan implisit diperlakukan dalam perbedaan antara
bahasa kognitif dan emotif, yang
kemudian dialihkan menjadi perbedaan vokabuler denotasi dan. Wacana inilah yang
dapat dilihat dalam miniatur metafora (Ricoeur,
1976:43).
Metafora juga dapat
diartikan sebagai bahasa kiasan seperti perbandingan. Hanya saja tidak
menggunakan kata-kata pembanding seperti,
bagai, laksana, dan sebagainya. Metafora ini menyatakan
sesuatu sebagai hal yang sama yang sesungguhnya tidak sama (Rachmad Djoko
Pradopo, 1987:66). Metafora akan
diperoleh melalui preposisi (kalimat) sebagai unsur terkecil wacana, dan bahasa mempunyai makna bila dipergunakan
dalam kalimat. Puisi akan menemukan eksistensinya setelah diapresiasi dalam
konstruksi preposisinya dan wacana.
Dalam
retorika tradisional, metafora
digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke
dalam pengalaman kata-kata, atau lebih
tepatnya proses denominasi. Aristoteles,
dalam Poetic’s-nya, menjelaskan
bahwa metafora adalah “ penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu
yang lain, interefensi yang terjadi dari
jenis ke spesies, dari spesies ke
jenis, dari spesies ke spesies atau
secara proporsional”. Tujuan majas adlah mengisi tempat kosong semantik dalam
kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh
karena itu, metafora memiliki ide lebih
banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu,
metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui
pemakaian biasnya (Riceour, 1976: 45).
Untuk itu, retorika klasik sebagai majas metafora
dipandang sebagai substitusi, yaitu ketegangannya (tension) hanya
terjadi pada wilayah interpretasi kata sehingga tidak menciptakan makna baru,
tetapi hanya bersifat dekoratif-ornament. Metafora klasik ini hanya mencakup
satu ‘bagian’ dari apa yang disebut Aristoteles dangan diksi, yaitu salah satu
dari sekumpulan prosedur diskursif, penggunaan kata-kata yang tidak lazim,
menciptakan kata-kata baru, mempersingkat atau memperpanjang kata-kata, yang semuanya
menyimpang dari penggunaan kata-kata secara umum (Ricoeur,1981: 179). Konsep
metafora klasik di atas, oleh Ricoeur (1976: 61) disebut dengan metafora mati (death
metaphor).
Sementara itu, metafora
secara kreatif terjadi karena pesan paling sederhana yang disampaikan melalui
bahasa yang alami, harus ditafsirkan, karena semua kata memiliki arti lebih
dari satu (polisemi) dan baru mendapatkan aktualnya jika dikaitkan dengan
konteks, dan audien yang ada, dan bukan dengan latar belakang situasi (Ricouer,
1977: 125). Metafora hidup atau inventif merupakan inovasi semantik yang bagian
arti dari tatanan predikatif (kesesuaian baru) sekaligus tatanan (penyimpangan
paradigmatis) (Ricoeur, 1977: 156-157).
Dalam hal ini, metafora dianggap sebagai kreasi sejenak,
suatu inovasi semantik yang tidak memliki status dalam bahasa yang mapan, dan
yang hanya ada karena atribusi predikat yang luar biasa atau tidak
diharapkan.dengan demikian, metafora lebih menyerupai pemecahan teka-teki
daripada asosiasi sederhana yang didasarkan pada persamaan; metafora disusun
oleh suatu pemecahan disonansi semantik. Metafora mengenal kekhasannya dari
fenomena ini, yang membedakannya dari metafora mati, yang sesungguhnya bukan
metafora. Metafora hidup adalah metafora inventif yang responsinya terhadap
diskordansi dalam kalimat merupakan perluasan makna yang baru meskipun pasti
benar bahwa metafora inventif semacam itu cenderung untuk menjadi metafora mati
melalui repetasi (Ricoeur, 1976: 50).
Teori Simbol
Simbol dalam bahasa Inggris “symbol” yang
berarti “lambang”. Simbol adalah lambang yang mewakili nilai-nilai tertentu.
Wujud dari perwakilan ini sesungguhnya bukanlah sebuah kesamaan. Wujud tersebut
lebih merupakan persamaan untuk mengilustrasikan fenomena, yaitu antara
realitas sebelumnya, dengan sesuatu yang digunakan untuk menjelaskan realitas
tersebutdi dalam teks. Dari ungkapan itu diketahui bahwa pada hakekatnya simbol
menerangkan adanya bentuk analogi. Bentuk analogi inilah yang dapat membentuk
simbol untuk mengilustrasikan pemikiran atau realitas imajiner. Karena itu,
simbol sering muncul dalam puisi untuk mewakili ungkapan penyair mengenai
fenomena yang tidak dapat dilihat dengan mata, tapi dirasakan keberadaannya.
Pemakaian simbol di dalam puisi terjadi karena
adanya bahasa kiasan (bentuk analogi,-pen), seperti metonimi, metafora,
ataupun personifikasi (Wachid B.S., 2002: 105). Akan tetapi, apa yang
diungkapkan oleh Abdul Wachid B.S. hanyalah gejala secara bahasa dan sedikit
berbeda cerita apabila meneliti simbol berdasarkan ranah budayanya. Simbol di
dalam puisi biasanya bersifat personal karena ditulis oleh penyair berdasarkan
imajinasinya. Hal ini yang membedakan dengan simbol konvensional yang mengacu
kepada kehidupan sehari-hari dan mampu menjadikan “simbol mati”. Kematian
simbol lebih dikarenakan bahasa tersebut mengalami pembekuan menjadi istilah
untuk menandai.
Dalam hal ini, ada perbedaansimbol dan tanda.
Dalam teori semiotika diterangkan bahwa simbol pun merupakan bagian dari kajian
tersebut, tetapi teori semiotika hanya membahas simbol dari proses bahasanya.
Padahal, simbol muncul tidak hanya dalam proses sematik., tetapi juga non
sematik.
Pada puisi sufi, simbol muncul dikarenakan adanya
keterbatasn bahasa untuk mengilustrasikan pengalaman spiritual yang dialami di
dimensi lain sehingga teks membutuhkan tamsil untuk menjelaskan konteks dan
kontekstualisasinya. Munculnya simbol bukanlah pembunuhan makna, namun
menciptakan makna yang konteksnya adalah pengalaman spiritual. Dalam kaitan
ini, kepekaan yang luar biasa dapat menjadi tranformasi informasi pengalaman
spiritual simbolik. Ada fakta bahwa puisi sufi semua keindahan dan semua
realitas merupakan milik Allah, karenanya, bentuk atristik menjadi jalan untuk
menerima ayat-ayat, bahkan secara langsung daripada yang ada di dalam nyata
(Murata & Chittick, 2005: 445). Ada dua dimensi yang pada akhirnya
diungkapkan menjadi bahasa simbolik atas pandangan terbatas yang dialami oleh
manusia. Munculnya dua dimensi itu berdasarkan bentuk artistik keindahan
realitas.[3]
Kata “simbol” berasal dari kata Yunani sumballo yang
berarti menghubungkan atau “menggabungkan”.
Simbol merupakan suatu tanda, tetapi
tidak setiap tanda adalah simbol. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur
pengertian adalah suatu arti langsung primer,
harfiah, yang menunjukkan arti
lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami
selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004:119 dalam kurniawan).
Ricoeur mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya
ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan,
makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami
hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda
ini mengatakan dengan tepat wilayah
hermeneutika (Bleicher, 2003: 376)
Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke
struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang
terlalu banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang
dibahas Ricoeur; (1) psikoanalisis, misalnya, berhubungan dengan mimpi-mimpi,
gejala-gejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai
penyimbolan konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol
sebagai imaji istimewa suatu puisi; (3) kesejahteraan agama, yang diikat
kepercayaan-kepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci.
Kedua, kosep simbol
mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu suatu tatanan
linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh fakta
bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan
struktur simbol berdasarkan makna signifikasi. Dimensi nonlinguistik hanya bisa
dijelaskan oleh linguistik. Contoh; simbol “kakbah” bagi Islam berarti “wajah
Tuhan”. Antara “kakbah” dan “wajah Tuhan” merupakan dimensi nonliguistik karena
tidak ada hubungannya, “kakbah” makna semantiknya adalah “batu” kemudian
berubah menjadi “Wajah Tuhan”. Akan tetapi, keduanya mempunyai dimensi
linguistik karena “kakbah” dan “wajah Tuhan” mempunyai simbol semantik yang
dibangun dari “kultur Islam”. Pada wilayah psikonalisis, menghubungkan
simbolnya ke konflik psikis tersembunyi; kritik sastra, mengacu ke
sesuatu yang seperti visi dunia atau hasrat untuk mengubah semua bahasa menjadi
sastra; sejarah agama, melihat manifestasi Yang Suci (Ricoeur, 1976:
50-51).
Kompleksitas eksternal simbol ini dapat dijelaskan oleh teori metafora
dengan tiga langkah; (1) mengidentifikasi benih semantik yang khas setiap
simbol betapapun berbedanya masing-masin, berdasarkan struktur makna yang
operatif dalam tuturan metaforis; (2) berfungsinya metaforis bahasa akan
membebaskan kita untuk memisahkan strata nonlinguistik simbol, penyebarannya
melalui metode kontas; (3) sebagai imbalanyya, pemahaman baru mengenai simbol
ini akan menimbulkan perkembangan yang lebih jauh dalam teori metafora yang
jika tidak tersembunyi. Dengan cara ini, teori simbol akan mengizinkan kita
menyempurnakan teori metafora (Ricoeur, 1976: 52).
Ciri makna semantik simbol diidentifikasi dengan melihat hubungan makna
harfisah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitkan dengan
bahasa sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku
ulang yang aspek simbol. Di siniteori metafora berguna mengungkap simbol
sehingga metafora memahami pelanggaran semantik pada kalimat menjadi model
untuk perluasan makna. Makna simbol bertentangan dengan makna harfiah. Namun,
simbol sebenarnya menghasilkan dua tingkat makna. Dalam makna simbolis, tentu
tidak ada dua makna, makadua itu menjadi satu tingkatan (gerakan) yang memindahkan
dari tingkat satu (linguistik) ke tingkat (nonlinguistik) yang keduanya
berasimilasi menjadi makna yang dicari.
Oleh karena itu, makna simbolik tersusun dalam dua makna. Makna pertama
adalh satu-satunya sarana merasuki makna tambahan. Arti primer memberi makna
sekuder, betul-betul sebgai arti dari suatu arti (the meaning of a meaning) (Ricoeu,
1976: 54). Simbol hubungan maknanya lebih kacau, tidak dapat dijabarkan dengan
baik dan logis. Simbol berbicara tentang asimilasi/pembaruan bukan
aprehensi/pengertian. Simbol mengasimilasi sesuatu yang ditandai dari satu hal
ke hal lain. Inilah yang menyebabkan simbol begitu memukau meskipun menipu.
Semua batas-batasnya kabar antara benda-benda dengan diri kita (Ricoeur, 1976:
55).
Simbol tidakbisa diatasi secara tuntas oleh bahasa konseptual, ada lebih
banyak simbol daripada persamaan konseptualnya. Untuk mengidentifikasi sisi
nonsemantik simbol dengan metode kontras, maka kita stuju menyebut semantik
ciri-ciri simbol yang (1) memungkinkan analisis linguistik dan analisis logis
berdasarkan makna dan interpratsi, dan (2) mempunyai persamaan metafora yang
sesuai. Oleh karena itu, sesuatu dalam simbol tidak sesuai dengan metafora
karena kenyataan ini menolak transkripsi linguistik, semantik, atau logik
(Ricoeur, 1976: 56).
Keburaman simbol iniberkaitkan dengan keberakaran simbol di daerah
pengalaman kita, misalnya, pada (1) psikonalisis, mempertimbnagkan mimpi
sebagai paradigma untuk representasi yang disamarkan; (2) satra; imaji puitik
tidak terikat pada bentuk global perilaku
(dicthen); (3) religius, manusia tidak menyerahkan diri pada
hal yang supranatural. Dengan demikian, aktivitas simbolik tidak otonom. Simbol
terikat banyak disiplin untuk membuka garis-garis yang mengikat banyak disiplin
untuk membuka garis-garis yang mengikat fungsi simbolik ke aktvitas nonsimbolik
ke aktivitas pralinguistik atau aktivitas nonsimbolik.
Dalam
simbol, semesta yang suci adalah kapasitas berbicara yang didasarkan pada
kapasitas kosmos untuk dimaknai. Dengan demikian, logika makna, berjalan dari
struktur semesta suci saja. Hukumnya adalah hukum kesekuaian, kesesuaian antara
kreasi dalam in illo tempore dan tatanan penampilan alamiah yang ada dan
aktifitas manusia. Misalnya, kuli dimaknai sesuai dengan model surgawi
(Ricoeur, 1976: 54).
Logika
kesesuaian itulah yang mengikat wacana pada semesta Yang Suci: kita bahkan
mengatakan bahwa selalu dengan bantuan wacana logika ini menampakkan dirinya
karena jika tidak ada mitos yang menceritakan bagaimana benda-benda itu muncul,
atau jika tidak ada ritual yang mengulang kembali proses ini, Yang Suci tidak
tampak.
Simbolisme
hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika minimal diperlukan
demi berfungsinya simbolisme apa pun. Akan tetapi, penjabaran linguistik ini
tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan pada simbolisme yang khas
semesta suci. Penafsiran suatu simbolisme, bahkan, tidak dapat terjadi jika
karya mediasinya tidak disahkan oleh hubungan langsung antara makna dalam hierofani
itu di bawah pertimbngan. Kesucian alam membuka dirinya dalam mengatakan
dirinyasecara simbolik (Ricoeur, 1976: 68).[4]
PEMBAHASAN
METAFORA
DALAM SAJAK “BIJI”
Metafora
dalam sajak “biji” menyiratkan suatu
arti tentang sebuah benih cinta. Benih cinta biasanya berhubungan dengan
perasaan “cinta” yang ditimbulkan dari sepasang kekasih. Benih cinta disini
merupakan proses awal sepasang kekasih bersatu dalam satu ikatan cinta .
Seperti layaknya benang sari yang jatuh dari sebuah bunga jantan jatuh ke
kepala putik bunga betina. Dengan demikian sajak ini mengaitkan dengan “”
(1)
Biji cinta yang dipatuk oleh burung
itu terjatuh di sebuah taman
Ketika kau aku saling pandang berlamalama
Setelah pencairan bertahuntahun melewati lembah dan
gurun
Akhirnya kau aku kejatuhan biji cinta itu
Bait pertama diatas mengungkapkan kesadaran akan
timbulnya “perasaan cinta” . metafora-pernyataan (statement;metaphor) muncul
proposisi “akhirnya kau aku kejatuhan biji cinta itu” yang terjadi “setelah
pencairan bertahuntahun melewati lembah dan gurun”, “benih cinta” disebut
metafora-pernyataan (statement;metaphor) karena komposisinya sudah
memenuhi syarat sebagai proposisi, yaitu minimal dibangun atas unsur subjek
sebagai identifikasi “pencarian” dan unsur prediksai-umum sebagai predikasi
“kejatuhan biji cinta”, sedangkan “biji cinta yang dipatuk oleh burung itu
terjatuh di sebuah taman” sebagai adsurbsi keterangan tempat dan “ketika kau
aku saling pandag berlamalama” sebagai adsurbsi keterangan kondisi.
“Biji cinta” merupakan suatu hasil dimana perasaan
sepasang kekasih dipertemukan dan bersatu menjadikan sesuatu yang akan tumbuh
“di sebuah taman” yakni ruang hati sepasang kekasih tersebut. Keabsurditasan kalimat-metaforis “biji cinta
yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman” menyiratkan suatu
perasaan cinta yang muncul dalam ruang hati seseorang. Perasaan itu muncul
“ketika kau aku saling pandang berlamalama”. Kemudian dipertegas lagi “akhirnya
kau aku kejatuhan lagi biji cinta itu” yang menyiratkan bersatunya kembali
perasaan sepasang kekasih “setelah pencarian bertahuntahun melewati lembah dan
gurun”.
Dengan demikian, sense pada bait pertama ini
mewacanakan tentang “cinta”, perasaan cinta sepasang kekasih yang bersatu
kembali setelah pencarian bertahuntahun.
(2) Bertemu
disini, di sebuah taman lain
Biji cinta
itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
Disuburkan
oleh musim hujan dan
Nafas kau
aku yang begitu gemuruh
Bait kedua di atas, terbangun atas
satu proposisi yang terdiri atas “bertemu di sini”
sebagai identifikasi-singular, “di sebuah taman lain”
sebagai atribusi-keterangan tempat. Konsep metaforanya terdapat pada level
antarbaris, yang tension wacananya terjadi pada baris kedua dan ketiga.
“biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang”
sebagai metafora-pernyataan (statement metaphor) mengasosiakan janji
suci, sedangkan “disuburkan oleh musim hujan dan” mengasosiakan kepercayaan.
Wacana yang
muncul dalam metafora –pernyataan baris kedua dan ketiga adalah janji suci
antara sepasang kekasih dengan saling menjaga kepercayaan satu sama lain.
Dengan begitu “nafas kau aku yang begitu gemuruh” yang berarti kedamaian yang
tercipta karena sepasang kekasih yang saling menjaga kepercayaan dalam ikatan
dan janji suci.
(3) Ketika terik
matahari pohon itu memberi kesejukan
Ketika hujan
setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
Dan ketika malam purnama ia memberi
ruang kau aku untuk bercinta
Bait
ketiga di atas, menggambarkan hambatan dan rintangan yang dihadapi pasangan.
“ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan” pada baris pertama, “terik
matahari” menyiratkan tentang cobaan yang dihadapi pasangan dalam menjalin
hubungan yang menimbulkan pertengkaran. “pohon” yang sudah dijelaskan di
atas yang berarti janji suci “itu memberi kesejukan” yang diasosiakan perdamaian.
Sehingga pada baris pertama itu mengungkapkan bahwa perdamaian dapat
dicapai untuk mencegah hambatan yang dapat
menimbulkan pertengkaran dengan selalu mengingat janji suci yang
pernah diungkapkan sebelumnya. Sedangkan baris ketiga “ketika hujan setidaknya
ia tidak menjadikan kau aku lapuk” lebih menegaskan lagi dari ungkapan yang terkandung
pada baris pertama. Hanya saja cobaan itu digambarkan dengan “hujan”
yang dapat membuat rapuh suatu hubungan pasangan. “dan ketika malam
purnama ia memberi ruang kau aku untuk bercinta” pada baris ketiga, “malam purnama ia memberi
ruang” menyiratkan tentang ketentraman yang tercipta karena pasangan
yang saling menjaga kepercayaan dan janji suci sehingga “memberi
ruang kau aku untuk bercinta” yang berarti terciptanya hubungan yang harmonis.
Dengan demikian, bait ketiga di atas
mewacanakan tentang segala hambatan dan rintangan yang dihadapi pasangan dapat
dilalui dengan saling menjaga kepercayaan dan senantiasa menciptakan hubungan
yang harmonis.
(4) Tetapi ....
tetapi ....
Kau aku lupa
siapa pemilik taman ini
Pada bait pertama sebelumnya telah
diuangkapkan “taman” yang dimaknai seperti ruang hati seseorang. Setelah
dianalisa pada bait-bait sebelumnya bahwa sepasang kekasih yang bertemu dan
saling menyatukan perasaan satu sama lain, yang menyebabkan pasangan itu “lupa
siapa pemilik taman ini” yang berarti bahwa ruang hati pasangan tersebut
sebelumnya sudah menjadi milik orang lain.
SIMBOL “BIJI”
Simbol “biji” pada puisi “biji”
menjadi kerangka transedental “cinta”. Dari empatbait puisi di atas, simbol
“biji” menduduki peristiwa yang utama karena isi kalimat-kalimat selanjutnya
merupakan penjelasan atas makna filosofi simbol biji. Dalam analisis metafora
yang telah dilakukan,”biji” menunjukkan suatu perumpamaan benih cinta.
Dalam hal ini, dapat dijelaskan bahwa “cinta tidak akan tumbuh tanpa benih
cinta”. Oleh karena itu, “biji” membentuk suatu pemikiran yang filosofis.
Sebagai wacana, “biji”, selain sebagai metafora-kata, pada tigkat yang lebih
dalam dapat diposisikan sebagai simbol yang lebih dalam.
“Biji” hakikatnya adalah sesuatu
yang dijadikan proses awal pertumbuhan sesuatu. Konsep dasar pada puisi “biji”
sebagai perumpamaan awal munculnya perasaan cinta seseorang.
(1)
Biji cinta yang dipatuk oleh burung
itu terjatuh di sebuah taman
Ketika kau aku saling pandang berlamalama
Setelah pencairan bertahuntahun melewati lembah dan
gurun
Akhirnya kau aku kejatuhan biji cinta itu
...
Penggalan bait di atas menjelaskan perasaan cinta yang
muncul saat pasangan bertemu kembali setelah sekian lama mereka tidak
berhubungan bertahun-tahun. Jika pada bait pertama sajak “biji” menyebabkan
munculnya perasaan cinta, maka bait kedua memperlihatkan pandangan yang jelas tentang proses selanjutnya setelah
perasaan itu muncul.
Asosiasi yang dibangun adalah pertemuan, benih cinta,
dan cinta. Citraan itu dihadirkan dalam suasana yang romantis. Oleh karenanya,
sekalipun suasana menghadirkan keramaian tetapi esensinya tetap terasa bahwa
dunia ini milik mereka berdua.
(2) Bertemu
disini, di sebuah taman lain
Biji cinta
itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
Disuburkan
oleh musim hujan dan
Nafas kau aku yang begitu gemuruh
Simbol “biji” dan “taman” pada puisi “Biji”
mempresentasikan makna kehidupan cinta yang esensinya adalah romantis. “biji”
sebagai bentuk yang jatuh dan tumbuh menjadi pohon “janji suci” di sebuah taman
“ruang hati” membuatnya mempunyai kesadaran tranendental dalam memahami hakikat
cinta.
(3) Ketika terik
matahari pohon itu memberi kesejukan
Ketika hujan
setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
Dan ketika
malam purnama ia memberi ruang kau aku untuk bercinta
Bait ketiga ini menjelaskan bahwa
“terik matahari” atau “hujan” inilah yang akan menjadi hambatan dalam pasangan
dalam menjalin hubungan. Dengan saling memegang kepercayaan dan janji suci
“pohon” akan mengantarkan kebahasgiaan. Akan tetapi pada faktanya, pada bait
keempat “kau aku lupa siapa pemilik tamn ini” yang mengungkapkan bahwa
sebenarnya ruang hati “taman” telah menjadi milik orang lain.
KONSEP MISTISISME CAHAYA
Konsep mistisisme cahaya pada puisi
“biji” berangkat dari kesadaran “cinta” tentang proses awal hubungan sepasang
kekasih yang disimbolkan dengan “biji”. Manusia dipeersepsi sebagai bagian dari
kehidupan yang hakikatnya adalah romantis. Keadaan inimenyebabkan potensi
manusia untuk larut dalam kehidupan.
Kesadaran transendental “cinta”
dalam puisi “biji”, dalam hubungannya dengan kehidupan duniawi, menimbulkan kesadaran
yang bersumber dari “biji”, yaitu: harapan bahwa hubungan yang bahagia hubungan
sepasang kekasih namun pada kenyataannya orang lain sudah memilikinya lebih
dulu.
[2] Abdul
Wachid B.S., Gandrung Cinta: Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 16-34
[3] Arif Hidayat, Aplikasi Teori Hermeneutika dan
Wacana Kritis (Purwokerto Selatan: Kaldera, 2015), hlm. 8-11
[4]Heru Kurniawan,
Mistisisme Cahaya. Purwokerto. Kaldera. 2013. Hlm 18-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar