KEBUDAYAAN SEBELUM DAN SESUDAH MASUKNYA ISLAM DI SUMATERA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah SKI dan Budaya
Lokal Diampu Oleh
Dian Nur Anna, S.Ag. M.A.
Oleh :
BIMO RAJENDRA FIRZATULLAH
NIM. 165200
WAHYU DWI UTAMI
NIM. 16520020
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN
ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016
A.
Pendahuluan
Bukti tertulis
mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai dengan
abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan
masjid, makam, ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase
pertama proses kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya,
dengan kehadiran para pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di
Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab
sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M.
Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat
hubungan pernikahan anatara para pedagang atau masyarakat muslim asing dengan
penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri
ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti
tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera, baru
ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita
bernama Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di
Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke– 13. M.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
keadaan masyarakat di Sumatera sebelum masuknya Islam?
2.
Bagaimana masuk dan
berkembangnya Islam di Sumatera?
C. KEADAAN MASYARAKAT SUMATRA SEBELUM MASUKNYA ISLAM
Sumatera Utara memiiki
letak geografis yang strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara menjadi
pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab
dan menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam
ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini
dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh,
Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya diIslamkan
oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan
Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga memiliki letak geografis yang strategis.
Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan
menjadi salah satu pusat perniagaan pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis
banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam,
Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha.
Kerajaan ini memiliki kekuatan maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya
bercorak Buddha, maka secara tidak langsung sebagian besar masyarakatnya
menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis
menyebabkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus dihadapi.
Hal ini membuat secara tidak langsung banyak budaya asing yang masuk ke
Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya.
Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang
sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan sangat
menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran
agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam
dapat masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau
Sumatera umumnya.
D. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA UTARA
Sumatera Utara merupakan
salah satu pusat perniagaan yang terpenting di Nusantara pada abad ke- 7 M.
Sehingga Sumatera Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan singgahnya para
saudagar-saudagar Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah berpeluang untuk
bergerak dan berkembang dengan cepat di kawasan ini.
Hal ini berdasarkan
catatan tua Cina yang menyebutkan adanya
sebuah kerajaan di utara Sumatera namanya Ta Shi telah membuat hubungan
diplomatic dengan kerajaan Cina. Ta Shi menurut istilah Cina adalah istilah
yang diberikan kepada orang-orang Islam. Dan letaknya kerajaan Ta Shi itu lima
hari berlayar dari Chop’o (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang
selat Malaka. Ini menunjukkan Ta Shi dalam catatan tua Cina itu ialah Ta Shi
Sumatera Utara, bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab tidak mungkin di capai
dalam waktu lima hari.
Islam semakin berkembang
di Sumatera Utara setelah semakin ramai pedagang – pedagang muslim yang datang
ke Nusantara, karena Laut Merah telah menjadi Laut Islam sejak armada rome
dihancurkan oleh armada muslim di Laut Iskandariyah.
Disamping itu ,
terdapat satu factor besar yang menyebabkan para pedagang Islam Arab memilih Sumatera Utara pada akhir abad
ke- 7 M. Yaitu karena terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka karena
disekat oleh tentara laut/Sriwijaya kerajaan Budha sebagai pembalasan atas
serangan tentara Islam atas kerajaan Hindu di Sind. Maka terpaksalah mereka
melalui Sumatera utara dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk selat Sunda
melalui Singapura menuju Kantun, Cina.[1]
KERAJAAN PERLAK
Kata Perlak berasal dari nama pohon kayu besar yaitu
“Kayei Peureulak” (Kayu Perlak). Kayu ini sangat baik digunakan untuk bahan
dasar pembuatan perahu kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan
perahu kapal. Dan di Perlak banyak tumbuh jenis pepohonan ini, sehingga disebut
negeri Perlak (Perlak)[2]
Perlak merupakan salah satu pelabuhan perdagangan yang
maju dan aman pada abad ke- 8 M. sehingga menjadi tempat persinggahan
kapal-kapal pedagang muslim. Dengan demikian, secara tidak langsung berkembanglah
masyarakat Islam di daerah ini. Factor utamanya yaitu karena sebab pernikahan
antara saudagar-saudagar muslim dengan perempuan-perempuan pribumi. Sehingga
menyebabkan lahir keturunan-keturunan yang beragama Islam.
Hal ini semakin berkembang sehingga berdirinya kerajaan
Islam Perlak yaitu pada hari selasa bulan muharram tahun 225 H (840 M). dan
sultannya yang pertama adalah Syed Maulana Abdul Aziz Shah yang bergelar Sultan
Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah. Kemudian Bandar Perlak diganti namanya menjadi
Bandar Khalifah[3]
Islam terus berkembang di Perlak, dan hal ini terlihat
jelas pada abad ke – 13 M. pada abad ini, perkembangan Islam di Perlak melebihi
dari daerah-daerah lain di Sumatera. Hal ini bersumber pada riwayat Marco Polo
yang tiba di Sumatera pada tahun 1292 M. Ia
mengatakan bahwa pada saat iu di Sumatera terbagi dalam delapan
kerajaan, yang semuanya menyembah berhala kecuali satu, itu kerajaan Perlak.
Kerajaan Perlak terus berdiri hingga akhirnya bergabung
dalam kerajaan Islam Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Malik Al-Dzahir (1289 – 1326 M)[4]
KERAJAAN SAMUDERA PASAI
Raja pertamanya adalah
Sultan Malik as Shaleh. Beliau adalah keturunan dari Raja Islam Perlak, yaitu
Makhdum Sultan Malik Ibrahim Syah Joan (365 – 402 H/976 – 1012 M).
Ada beberapa hal yang
masih simpang siur mengenai Sultan Malik as Shaleh. Ada yang menyebutkan beliau
memeluk agama Hindu yang kemudian diIslamkan oleh Syekh Ismail. Ada pula yang
menyebutkan bahwa beliau sudah memeluk agama Islam sejak awal.
Sebelum bernama Samudra
Pasai, kerajaan ini bernama kerajaan Samudra saja. Kerajaan Samudra merupakan
kerajaan yang makmur dan kaya. Juga memiliki angkatan tentara laut dan darat
yang teratur.
Kerajaan Samudra
semakin bertambah maju, yang kemudian dikenal dengan nama “Samudera Pasai”,
yaitu setelah dibangunnya Bandar Pasai pada masa pemerintahan Raja Muhammad.
Hubungan Kerajaan
Samudra Pasai dengan Kerajaan Perlak
sangatlah baik. Dan hal ini makin dipererat dengan menikahnya Sultan Malik as
Shaleh dengan putri raja Perlak.
Puncak kejayaan
kerajaan Samudra Pasai yaitu pada masa pemerintahan Sultan Al Malik Al Zahir
(1326—1349/757—750 H).
KERAJAAN ACEH
Kerajaan ini berdiri
pada abad ke- 13 M. Pada awalnya Aceh merupakan daerah taklukan kerajaan Pidir.
Namun berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah, Aceh akhirnya mampu melepaskan diri
dan berdaulat penuh menjadi Kerajaan. Atas jasa beliau, akhirnya Sultan Mghiyat
Syah dinobatkan menjadi Raja pertama.
Kerajaan Aceh mengalami
masa kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607—1638 M).
E. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA SELATAN
Palembang adalah kota
yang memiliki letak geografis yang sangat strategis. Sejak masa kuno, Palembang
menjadi tempat singgah para pedagang yang berlayar di selat Malaka, baik yang
akan pergi ke negeri Cina dan daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan
melewati jalur barat ke India dan negeri Arab
serta terus melewati jalur barat ke India dan negeri Arab serta terus ke
Eropa. Dan selain pedagang, para peziarah pun banyak menggunakan jalur ini.
Persinggahan ini yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke
Palembang (Sriwijaya pada waktu itu) atau ke Sumatera Selatan.
Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh
It’sing, ketika ia berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Cina dan
tertahan di Palembang. Kemudian ia membuat catatan tentang kota dan
penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan abad ke– 7 M
yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan
baik oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam yaitu Palembang dan
Keddah. Dengan demikian dapat disimpulkan, pada permulaan abad ke- 7 M di
Palembang sudah ada masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat (pada waktu
itu Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan ibadah
menurut agama Islam.
Selain itu, ada sumber
yang menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang erat antara perdagangan yang
diselenggarakan oleh kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya. Yaitu
dengan mempertimbangkan sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan raja
Ta-che (sebutan untuk Arab) ke Kalingga pada 674 M, dapatlah dipastikan bahwa
di Sumatera Selatan pun telah terjadi proses awal Islamisasi. Apalagi T’ang
menyebutkan telah adanya kampong Arab muslim di pantai Barat Sumatera.
Sesuai dengan
keterangan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia tidak mengadakan invasi militer
dan agama, tetapi hanya melaui jalan perdagangan. System penyebaran Islam yang
tidak kenal misionaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui perang,
melinkan hanya melaui perdagangan saja memungkinkan Sriwijaya sebagai pusat
kegiatan penyebaran agama Budha, dapat menerima kehadiran Islam di wilayahnya.
Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal memiliki kekuatan
maritim yang tangguh. Walaupun ada yang meragukan hal tersebut karena melihat
kondisi maritime bangsa Indonesia sekarang.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan putra pribumi
ikut berlayar bersama para pedagang Islam ke pusat agama Islam yaitu mekkah.
Dan tidak menutup kemungkinan pula, putera pribumi mengadakan ekspedisi ke
timur tengah untuk memperdalam keilmuan agama Islam.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia tidak
serta merta menunggu para pedagang Islam baik itu dari bangsa Arab ataupun
sekitarnya untuk mencari tambahan pengetahuannya tentang ajaran agama
Islam.
KESULTANAN PALEMBANG
Pada waktu daerah Palembang menjadi bagian dari Kerajaan
Majapahit, di daerah ini ditempatkan seorang Adipati bernama Ario Damar. (14—15
H/1447 M). Pada awalnya ia beragama Hindu, lalu kemudian memeluk Islam. Hal ini
menunjukkan bahwasanya pada waktu itu, Islam sudah dominant di Palembang.
Pada suatu hari, Ario Damar mendapat hadiah salah seorang
selir dari Prabu Kertabumi, yang bernama Putri Campa yang sedang hamil tua.
Yang kemudian lahir dari rahimnya seorang anak yang bernama Raden Patah.
Pada tahun 1473, raden Patah bersama adiknya Raden Kusen
(Ario Dillah), menghadap Prabu Kertabumi. Mereka mendapat kepercayaan untuk
membangun desa Bintoro, yang nantinya berkembang dengan pesat dan menjadi
kerajaan Islam Demak yang pada akhirnya menghancurkan Majapahit.
Pada tahun 1528, Demak di serang oleh kerajaan Pajang dan
mengalami kekalahan. Para pembesar kerajaan dipimpin oleh Pangeran Sedo Ing
Lautan bermigrasi ke Palembang yang kemudian mendirikan kerajaan Islam
Palembang
Pada akhirnya kesultanan Palembang
hilang karena dihapus status kesultanannya oleh colonial Belanda. [5]
F. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI
BENGKULU
Salah satu kerajaan
tertua di Bengkulu adalah Kerajaan Sungai Serut dengan raja pertamanya Ratu
Agung (1550 1570) yang berasal dari Gunung Bungkuk . Dari sumber lokal yang
terhimpun dalam Gelumpai diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1417 M seorang
dai dari Aceh bernama Malim Mukidim datang ke Gunung Bungkuk Sungai Serut Awi,
kawasan Lematang Ulu. Malim Mukidim berhasil mengislamkan raja Ratu Agung
penguasa Gunung Bungkuk saat itu . Menurut sumber Persentuhan Palembang dengan
Islam, sangat memungkinkan Palembang menjadi salah satu pintu masuknya Islam ke
Bengkulu. Hal ini sebagaimana yang di kemukakan oleh Badrul Munir Hamidy :
"Masuknya Islam ke Bengkulu melalui lima pintu yaitu ; pintu pertama
melalui kerajaan Sungai Serut yang dibawa oleh ulama Aceh Tengku Malim Mukidim,
pintu kedua melalui perkawinan Sultan Muzafar Syah dengan putri Serindang
Bulan, inilah awal masuknya Islam ke tanah Rejang pada pertengahan abad XVII.
Pintu ketiga melalui datangnya Bagindo Maharajo Sakti dari Pagaruyung ke
kerajaan Sungai Lemau pada abad XVII, pintu keempat melalui dakwah yang
dilakukan oleh dai-dai dari Banten, sebagai bentuk hubungan kerjasama kerajaan
Banten dan kerajaan Selebar, pintu kelima masuknya Islam ke Bengkulu melalui
daerah Mukomuko setelah menjadi kerajaan Mukomuko". Kerajaan Pagaruyung di
Sumatera Barat mempunyai kekuasaan yang luas dari Sikilang Aia Bangih adalah
batas Utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal,
Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu (daerah pesisir
Selatan hingga ke Mukomuko). Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten
Bungo, Jambi yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau
Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang .
Selain jalur-jalur
ataupun pintu masuknya dakwah Islam ke Bengkulu yang dikemukakan di atas, salah
satu jalur masuknya Islam ke Bengkulu adalah adanya hubungan kerajaan Sungai
Lemau dengan Singaran atau Suanda yang berasal dari Palembang. Pada tahun 1527
M datang seseorang yang berasal dari Lembak Beliti, dusun Taba Pingin Pucuk
Palembang yang bernama Singaran atau Suanda kepada Baginda Sebayam raja Sungai
Lemau dengan tujuan untuk meminta suaka politik. Pengganti Baginda Sebayam
adalah putranya yang tertua bernama Baginda Sana yang bergelar Paduka Baginda
Muda. Pada masa pemerintahan Paduka Baginda Muda datang seorang laki-laki dari
dusun Taba Pingin yang bernama Abdul Syukur yang masih termasuk kerabat
Singaran (Suanda). Abdul Syukur inilah yang mula-mula mengembangkan agama Islam
di wilayah Sungai Itam hingga ke Lembak Delapan .
Singaran atau Suanda
yang datang dari Lembak Beliti dusun Taba Pingin Pucuk Palembang dalam sumber
lain nama Singaran atau Suanda disebut juga dengan nama Aswanda. Karena Aswanda
berkelakuan baik dan berasal dari keturunan bangsawan maka oleh baginda Sebayam
diambil menjadi menantu dan diberi sebagian wilayah kerajaannya, yaitu daerah
pesisir yang terbentang antara Sungai Itam dan sungai Bengkulu ke hulu sampai
sungai Renah Kepahiang dan ke hilir sampai ke pinggir laut, peristiwa ini
terjadi pada tahun 1650 . Kedatangan kerabat Singaran (Suanda atau Aswanda)
yang beragama Islam (Abdul Syukur) pada masa pemerintahan Paduka Baginda Muda
dari kerajaan Sungai Lemau berarti telah terjadi kontak hubungan antara
masyarakat Sungai Lemau khususnya di wilayah Sungai Itam hingga ke Lembak
Delapan dengan agama Islam sekitar tahun 1650.
Pada tahun 1668 M (1079
H) kerajaan Sungai Lemau dan kerajaan Sillebar yang ada di Bengkulu mengadakan
hubungan kerjasama dengan sultan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa). Utusan
kerajaan Sungai Lemau diwakili oleh Depati Bangsa Raja, sedangkan utusan dari
kerajaan Sillebar diwakili oleh Depati Bangso Radin. Kedua utusan dari dua
kerajaan tersebut menyatakan wilayahnya di bawah kekuasan sultan Banten.
Selanjutnya sultan Banten bermufakat dengan Inggris untuk memberikan gelar
pangeran kepada kedua utusan dari Bengkulu tersebut, setelah menghadap sultan
Banten, Depati Bangsa Raja dari kerajaan Sungai Lemau mendapat gelar Pangeran
Raja Muda. Sedangkan Depati Bangsa Radin dari kerajaan Sillebar oleh Sultan
Banten diberi gelar Pangeran Nata Diraja. Menurut riwayat, Pangeran Nata Diraja
menikah dengan Puteri Kemayun anak perempuan Sultan Banten (Sultan Ageng
Tirtayasa). Pangeran Nata Diraja kembali ke kerajaan Sillebar di Bengkulu
disertai dengan dua belas tentara kesultanan Banten .
Dengan demikian dakwah
Islam juga masuk ke Bengkulu melalui pintu kerjasama antara kerajaan-kerajaan
yang ada di Bengkulu pada abad ke-16. Selain itu peninggalan sejarah menyangkut
kontak hubungan masyarakat Bengkulu dengan agama Islam yang masih dapat dilihat
sampai sekarang adanya perayaan ritual Tabut yang dilaksanakan untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad
S.A.W. yakni Hasan dan Husein.
lain, agama Islam masuk di Bengkulu sekitar
abad ke 16 .
Selain bukti sejarah
berupa kebudayaan, tulisan, dan lain sebagainya, bukti lain yang
mengindikasikan masuknya dakwah Islam ke suatu daerah antara lain adalah adanya
makam orang Islam atau makam yang bercorak Islam. Seperti ditemukannya batu
nisan yang bertuliskan dan atau berarsitektur Timur Tengah.
Sebagai bukti masuk dan
berkembangnya Islam di Bengkulu, tidak salah kiranya ditelusuri melalui masjid-masjid
tua yang ada di Bengkulu. Dalam tulisannya Masjid-Masjid Bersejarah di
Indonesia Abdul Baqie Zein mengemukakan ada beberapa masjid tertua dan
bersejarah di kota Bengkulu adalah : masjid Baiturrahim simpang lima th
1910, masjid Taqwa Jl Sutoyo Rt. 4 th 1910, masjid Al-Muhtadin Jl S. Parman Rt.
10 th 1912, masjid Lembaga Pemasyarakatan th 1915, masjid Al-Muhtadin th 1920,
masjid Al-Iman Jl. Sutoyo Rt. 5 th 1921. masjid-masjid inilah yang tercatat
dalam direktori masjid Kanwil Depag Bengkulu tahun 1997 . Sumber lain
menyebutkan bahwa masjid-masjid yang bersejarah di Bengkulu di antaranya masjid
Jamik di Jl. Suprapto, masjid Syuhada di kelurahan Dusun Besar, masjid
Al-Mujahidin di kelurahan Pasar Baru, dan masjid Baitul Hamdi di kelurahan
Pasar Baru.
Di Bengkulu Selatan
terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Al Mannar yang kondisinya saat ini
telah dipugar karena mengalami kerusakan berat setelah gempa tahun 2000.
Menurut Burhanuddin (Ketua Panitia Pembangunan Masjid Al-Mannar) masjid
Al-Manar merupakan masjid tertua di Kota Manna, karena dibangun sekitar tahun 1905 Masehi atau 1327 Hijriyah. Masjid
Al-Mannar yang berlokasi di perkampungan nelayan Pasar Bawah memiliki
nilai-nilai historis, karena terkait erat dengan sejarah perkembangan Islam di
Bengkulu Selatan. Di masjid tersebut, dimakamkan pula Syech Moh Amin, yang
merupakan penyebar agama Islam dan pendiri masjid pertama di Bengkulu Selatan
tersebut.[6]
G. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA BARAT
Agama Islam pertama kali memasuki Sumatera
Barat pada abad
ke-7, dimana
pada tahun 674 telah didapati masyarakat Arab di pesisir timur pulau
Sumatera. Selain berdagang, secara perlahan mereka
membawa masuk agama Islam ke dataran tinggi Minangkabau atau Sumatera
Barat sekarang melalui aliran sungai yang bermuara di timur pulau Sumatera, seperti Batang
Hari.
Perkembangan agama Islam di Sumatera Barat
menjadi sangat pesat setelah kesultanan
Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, yang
berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatera. Sehingga
pada abad
ke-13, Islam mulai memasuki Tiku, Pariaman, Air
Bangis, dan daerah pesisir Sumatera Barat lainnya. Islam kemudian juga masuk ke
daerah pedalaman atau dataran tinggi Minangkabau yang disebut
"darek". Di kawasan daerah pada saat itu berdiri kerajaan Pagaruyung, dimana kerajaan tersebut mulai mendapat pengaruh Islam sekitar abad
ke-14. Sebelum Islam diterima secara luas,
masyarakat yang ada di sekitar pusat kerajaan dari beberapa bukti arkeologis
menunjukan pernah memeluk agama Buddha dan Hindu terutama sebelum memasuki abad
ke-7.
Perang Padri
Sejak abad
ke-16, agama Islam telah dianut oleh seluruh
masyarakat Minangkabau baik yang menetap di Sumatera Barat maupun di
luar Sumatera Barat. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam atau murtad, secara
langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau.
Namun hingga akhir abad ke-17, sebagian dari mereka terutama yang ada di
lingkungan kerajaan, belum sepenuhnya menjalankan syariat
Islam dengan sempurna dan bahkan masih melakukan
perbuatan yang dilarang dalam Islam. Mengetahui hal tersebut, ulama-ulama Minangkabau yang saat itu disebut Kaum
Padri dalam suatu perundingan mengajak masyarakat di
sekitar kerajaan Pagaruyung terutama Raja Pagaruyung untuk kembali ke ajaran Islam. Namun
perundingan tersebut pada tahun 1803 berujung kepada konflik yang dikenal sebagai Perang
Padri.
Perang Padri melibatkan sesama masyarakat
Minang, yaitu antara Kaum Padri dan Kaum
Adat.
Setelah 20 tahun konflik belangsung, pada tahun 1833 terjadi penyesalan di Kaum Adat karena
telah mengundang Belanda 12 tahun sebelumnya, yang selain
mengakibatkan kerugian harta dan mengorbankan jiwa raga, juga meruntuhkan
kekuasaan Pagaruyung. Saat itu, Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol mulai merangkul Kaum Adat, dan terjadilah suatu
kesepakatan di antara kedua pihak untuk bersatu melawan Belanda. Tidak hanya
itu, Kaum Adat dan Kaum Padri juga mewujudkan konsesus bersama, yaitu "Adat
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat berlandaskan ajaran
Islam, ajaran Islam berlandaskan Al-Qur'an)[7]
H. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI LAMPUNG
Sejarah Masuknya Islam
Masuk lewat Tiga Penjuru
Barangkali, tidak semua orang mengetahui agama
Islam masuk Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama. Dari arah
barat (Minangkabau) agama ini masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari utara
(Palembang) melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar (1443), dan dari arah
selatan (Banten) oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui
Labuhanmaringgai di Keratuan Pugung (1525). Dari ketiga pintu masuk agama Islam
itu, yang paling berpengaruh melalui jalur selatan. Ini bisa dilihat dari
situs-situs sejarah seperti makam Tubagus Haji Muhammad Saleh di Pagardewa,
Tulangbawang Barat, makam Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, dan
makam Tubagus Yahya di Lempasing, Kahuripan diduga keduanya masih keturunan
Sultan Hasanuddin dari Banten. Di Ketapang, Lampung Selatan, terdapat makam
Habib Alwi bin Ali Al-Idrus.
Selain itu, menurut buku Sejarah Perkembangan
Pemerintahan di Lampung Buku II, terbitan DHD Angkatan 45 Lampung tahun 1994,
halaman 49-53, disebutkan pada sekitar abad 18, sebanyak 12 orang penggawa dari
beberapa kebuaian di daerah ini mengunjungi Banten untuk belajar agama Islam.
Mereka adalah penggawa dari Bumi Pemuka Bumi, penggawa dari Buai Subing, Buai
Berugo, Buai Selagai, Buai Aji, Buai Teladas, Buai Bugis, Buai Mega Putih, Buai
Muyi, Buai Cempaka, Buai Kametaro, dan Buai Bungo Mayang.
Di Belalau, Islam dibawa empat orang putra
Pagaruyung (Minangkabau). Sebelumnya, di wilayah ini telah berdiri sebuah
kerajaan legendaris bernama Sekala Brak, dengan penghuninya suku bangsa Tumi,
penganut animisme.
Bangsa Tumi mengagungkan sebuah pohon bernama
Belasa Kepampang atau nangka bercabang. Konon, pohon ini memiliki dua cabang,
satunya nangka dan sisi yang lain adalah sebukau, sejenis kayu bergetah.
Keistimewaan pohon ini, jika terkena getah kayu sebukau bisa menimbulkan koreng
dan hanya dapat disembuhkan dengan getah nangka di sebelahnya.
Masuk lewat Budaya Setempat
Meskipun penyebaran agama Islam di Lampung
dominan melalui selatan (Banten), bukan berarti bisa menjamah seluruh daerah di
Lampung.
Dari utara, misalnya, Islam mudah masuk dari
Pagaruyung (Minangkabau). Dari utara, Islam masuk dari Palembang melalui
Komering. Dari utara, Islam dibawa empat putra Raja Pagaruyung Maulana Umpu
Ngegalang Paksi. Fase ini menjadi bagian terpenting dari eksistensi masyarakat
Lampung. Kedatangan keempat umpu ini merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala
Brak Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/animisme.
Momentum ini sekaligus tonggak berdirinya
Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Empat
putra Maulana Umpu Ngegalang Paksi adalah Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh,
Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong.
Umpu berasal dari kata ampu tuan (bahasa
Pagaruyung), sebutan bagi anak raja-raja Pagaruyung Minangkabau. Di Sekala
Brak, keempat umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi
Pak yang berarti empat serangkai atau empat sepakat. Setelah perserikatan ini
cukup kuat, suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah
Islam di Sekala Brak. Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu
wanita yang bernama Ratu Sekerumong yang pada akhirnya dapat ditaklukkan
Perserikatan Paksi Pak.
Sedangkan penduduk yang belum memeluk Islam
melarikan diri ke pesisir Krui dan terus menyeberang ke Jawa dan sebagian lagi
ke Palembang.
Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan
hambatan, pohon belasa kepampang yang disembah suku bangsa Tumi ditebang untuk
kemudian dibuat pepadun. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan
atau diduduki pada saat penobatan saibatin raja-raja dari Paksi Pak Sekala Brak
serta keturunannya. Ditebangnya pohon belasa kepampang ini pertanda jatuhnya
kekuasaan Tumi sekaligus hilangnya animisme di Kerajaan Sekala Brak, Lampung
Barat.
Islam juga erat kaitannya dengan adat dan
budaya Lampung. Sebagai cikal bakal masyarakat suku Lampung, Paksi Pak Sekala
Brak memasukkan nilai-nilai keislaman dalam semua peristiwa dan upacara adat.
Hampir tidak ada acara adat yang tidak berbau Islam. Mulai dari kelahiran anak
sampai perkawinan dan kematian selalu bernuansa Islam.
Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung
memiliki sifat-sifat piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut
agama serta memiliki harga diri); juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai
dengan gelar adat yang disandangnya); nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk
bersilaturahmi serta ramah menerima tamu); nengah-nyampur (aktif dalam
pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis); sakai-sambaian (gotong
royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya). Semua sifat itu
fondasinya adalah islam.
Sedangkan pengaruh agama Islam dari arah
(Palembang) masuk lewat Komering. Ketika itu, Palembang diperintah Arya Damar.
Diperkirakan, Islam masuk dari utara dibawa Minak Kemala Bumi atau yang juga
dikenal dengan nama Minak Patih Prajurit. Makamnya berada di Pagardewa,
Tulangbawang Barat, bersebelahan dengan makam Tubagus Haji Muhammad Saleh dari
Banten, yang juga tokoh penyebar agama Islam di daerah ini.
Dari selatan (Banten), Islam diperkirakan
dibawa Fatahillah atau Sunan Gunung Jati melalui Labuhanmaringgai sekarang,
tepatnya di Keratuan Pugung. Di sini, konon, Fatahillah menikah dengan Putri
Sinar Alam, anak Ratu Pugung.Dari pernikahan ini melahirkan anak yang diberi
nama Minak Kemala Ratu, yang kemudian menjadi cikal bakal Keratuan Darah Putih
dan menurunkan Radin Inten, pahlawan Lampung yang juga tokoh penyebar Islam di
pesisir.
Nisan yang Bercorak Kerajaan Samudera Pasai
SALAH satu pintu masuknya Islam ke Lampung dari
bagian selatan sekitar abad XV. Saudagar yang berniaga di Malaka, tepatnya di
Kerajaan Samudera Pasai, memberi pengaruh Islam di sana.
Ada dua jejak masuknya Islam dari arah Malaka
itu, yakni adanya batu nisan di Lampung Selatan, yaitu di Kampung Muarabatang
dan Wonosobo.
Peninggalan abad XV sebagai pertanda Islam
masuk ke sana antara lain Alquran bertulis tangan kuno dan Perjanjian
Banten-Lampung. Perjanjian persaudaraan itu ditulis menggunakan bahasa arab.
Selain itu, bukti lain adalah UU Adat atau Kuntara Raja Niti. Undang-undang
ditulis dalam dua versi, yakni berbahasa Banten dengan aksara Arab dan bahasa
Lampung dengan Aksara
Lampung.[8]
I.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa Bangsa Indonesia yang
sejak zaman nenek moyang terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan sangat
menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran
agama yang berbeda dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam dapat
masuk dan menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau
Sumatera umumnya. Letak geografis yang strategis juga memicu perkembangan Islam
yang sangat cepat. Bangsa Indonesia juga dalam
upaya mencari pengetahuan tentang Islam tidak hanya kedatangan bangsa Arab
semata . Kebudayaan-kebudayaan lahir di masa kerajaan-kerajaan Islam.
J. DAFTAR PUSTAKA
Hasyimy, A. 1993. Sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran pada seminar di Aceh. Al ma’arif
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam. Di akses tanggal 01 November 2016. Pukul 15.30 WIB
[1] A. Hasyimy, Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran pada seminar di Aceh (Al
ma’arif, 1993), hlmn. 193 – 195.
[2] Ibid. 152.
[3] ibid. 195.
[4] ibid. 202.
[5]
Masuk Dan
Berkembangnya Islam Di Sumatera Selatan, edt. Gadjahnata & Edi Swasono (Jakarta : UI –
Press, 1986), hlmn. 19.
[6] https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Bengkulu
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Sumatera_Barat
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar