ASAL-USUL
Tasawuf atau mengenakan pakaian wol.
Adalah nama gerakan yang mendominasi pikiran dan hati kaum muslim selama seribu
tahun, dan masih kuat tertanam dalam banyak kalangan di dunia muslim. Tasawuf
memelihara jiwa mereka, menyucikan hati mereka, dan memenuhi kerinduhan mereka
akan kesalehan, kebajikan, kebenaran, dan kedekatan dengan tuhan. Tasawuf
tumbuh, berkembang dan dengan cepat bergerak kesetiap penjuru dunuia muslim.
Tasawuflah yang membuat berjuta-juta orang masuk islam. Selain melahirkan sejumlah
Negara militan dan gerakan sosiopolitis, tasawuf menjadi penyebab kemunduran
kekuatan muslim. Tasawuf menjadi penyebab penukaran pengetahuan rasional kaum
muslim dengan pengetahuan takhayul. Ia menjadi penyebab bagi kaum muslim untuk
mengabaikan dunia dan memperhatikan akherat. Tasawuf merupakan gerakan yang
walaupun besar kebaikannya juga besar keburukannya dalam sejarah peradaban
Islam.
Tiga aliran pemikiran bebas mengisi ajaran tasawuf dan menentukan isi serta karakternya. Pertama, Islam membawa asketisisme gurun, suatu keengganan terhadap kehidupan urban dan menetap yang mewah, al-quran dan bacaannya, puisi arab dan doa kesalehan untuk memuji Tuhan, dan cinta kepada Tuhan serta kehadiran Ilahiah-Nya yang ditekankan Islam menciptakan tradisi kewalian sebagai pengabdian mutlak kepada-Nya dan Nabi-Nya. Kesalehan asketis ini menentang keterlibatan penuh dalam urusan duniawi. Kesalehan ini mendapat teladan dalam kehidupan para sahabat Nabi, Abu Dzarr Al-Ghifari ( 31/652) , pemerintah khalifah Umawi, Umar bin abdul aziz, dan perilaku alim Al-Hasan Al-Bashr (109/728). Kesalehan tasawuf tampaknya menguasai kehidupan Abu Hasyim Al-Kufi (158/776) sepenuhnya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya bersembahyang dan berdoa di Masjid Kufah. Visi tasawuf mengilhami puisi Rabiah Al-Adawiyyah (184/801) . Rabiah mengajarkan cinta kepada Tuhan yang suci dan murni karena cemas akan hukuman atau rindu akan pahala. Kedua, gnostisisme Aleksandrian dan Hellenisme Pythagorean, yang mempengaruhi Yudaisme dan Kristianitas, menguasai Timur Dekat selama seribu tahun sebelum datangnya Islam. Ketika rakyat Timur Dekat dan Afrika Utara masuk Islam, Adalah wajar bila kiasan dan gagasan gnostik terbawa dalam muatan spiritual mereka. Dialektika ruh dan materi cahaya dan gelap, langit tinggi dan bumi yang rendah merasuk ke mana-mana. Dua pemikir Mesir yang terpengaruh gnostisisme Hellenis mengarahkanarus ini untuk memadukan muatannya dengan muatan cinta asketis kepada Tuhan dalam aliran pribumi Arabia: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (222/838) dan Dzun Nun Al-Mishri (246/861). Yang pertama mengajarkan doktrin kebenaran melalui pencerahan (isyraq), dan yang kedua mengajarkan kerinduan dan kemungkinan penyatuan kembali dengan Tuhan dalam ruh. Ini menyusul kenaikan melalui kebajikan dan penerungan. Ketiga, sebagai agama dominan dari sebagian besar provinsi di Asia yang dikuasai Islam, Buddhisme segera menjalankan pengaruhnya. Pengutukan Buddhisme terhadap dunia ini, dukungannya yang total terhadap kehidupan biarawan dan pertapaan, menemukan sarana pengungkapannya pada diri Ibrahim bin Al-Adham (159/777). Seperti dikatakan pengikutnya kemudian, kehidupan Ibrahim tak berbeda dengan kehidupan Buddha. Ibrahim berasal dari keluarga bangsawan, seorang pangeran yang berkuasa di Balkh. Ia tiba-tiba memutuskan meninggalkan kedudukan dan hartanya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya, untuk menjalani kehidupan asketis menyendiri di masjid, senantiasa berdzikir dan berdoa, mengabaikan makanan dan segala isi dunia. Abu Yazid Al-Bisthami (260/875) mengemukakan gagasan Hindu-Buddha Nirwana sebagai tujuan (baqo) kehidupan yang menyangkal-diri dan merendahkan diri (fana). Gagasan Hellenis dan Buddha beredar di dunia Muslim sebagai makna asing, sampai Junayd Al-Baghdadi (296/910) memadukannya dengan aliran cinta Tuhan asketis Arab. Ia memberinya istilah-istilah Islam atau Qurani. Untuk selanjutnya, tuga aliran ini bersatu dan mengalir bagai sungai besar.
Tiga aliran pemikiran bebas mengisi ajaran tasawuf dan menentukan isi serta karakternya. Pertama, Islam membawa asketisisme gurun, suatu keengganan terhadap kehidupan urban dan menetap yang mewah, al-quran dan bacaannya, puisi arab dan doa kesalehan untuk memuji Tuhan, dan cinta kepada Tuhan serta kehadiran Ilahiah-Nya yang ditekankan Islam menciptakan tradisi kewalian sebagai pengabdian mutlak kepada-Nya dan Nabi-Nya. Kesalehan asketis ini menentang keterlibatan penuh dalam urusan duniawi. Kesalehan ini mendapat teladan dalam kehidupan para sahabat Nabi, Abu Dzarr Al-Ghifari ( 31/652) , pemerintah khalifah Umawi, Umar bin abdul aziz, dan perilaku alim Al-Hasan Al-Bashr (109/728). Kesalehan tasawuf tampaknya menguasai kehidupan Abu Hasyim Al-Kufi (158/776) sepenuhnya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya bersembahyang dan berdoa di Masjid Kufah. Visi tasawuf mengilhami puisi Rabiah Al-Adawiyyah (184/801) . Rabiah mengajarkan cinta kepada Tuhan yang suci dan murni karena cemas akan hukuman atau rindu akan pahala. Kedua, gnostisisme Aleksandrian dan Hellenisme Pythagorean, yang mempengaruhi Yudaisme dan Kristianitas, menguasai Timur Dekat selama seribu tahun sebelum datangnya Islam. Ketika rakyat Timur Dekat dan Afrika Utara masuk Islam, Adalah wajar bila kiasan dan gagasan gnostik terbawa dalam muatan spiritual mereka. Dialektika ruh dan materi cahaya dan gelap, langit tinggi dan bumi yang rendah merasuk ke mana-mana. Dua pemikir Mesir yang terpengaruh gnostisisme Hellenis mengarahkanarus ini untuk memadukan muatannya dengan muatan cinta asketis kepada Tuhan dalam aliran pribumi Arabia: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (222/838) dan Dzun Nun Al-Mishri (246/861). Yang pertama mengajarkan doktrin kebenaran melalui pencerahan (isyraq), dan yang kedua mengajarkan kerinduan dan kemungkinan penyatuan kembali dengan Tuhan dalam ruh. Ini menyusul kenaikan melalui kebajikan dan penerungan. Ketiga, sebagai agama dominan dari sebagian besar provinsi di Asia yang dikuasai Islam, Buddhisme segera menjalankan pengaruhnya. Pengutukan Buddhisme terhadap dunia ini, dukungannya yang total terhadap kehidupan biarawan dan pertapaan, menemukan sarana pengungkapannya pada diri Ibrahim bin Al-Adham (159/777). Seperti dikatakan pengikutnya kemudian, kehidupan Ibrahim tak berbeda dengan kehidupan Buddha. Ibrahim berasal dari keluarga bangsawan, seorang pangeran yang berkuasa di Balkh. Ia tiba-tiba memutuskan meninggalkan kedudukan dan hartanya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya, untuk menjalani kehidupan asketis menyendiri di masjid, senantiasa berdzikir dan berdoa, mengabaikan makanan dan segala isi dunia. Abu Yazid Al-Bisthami (260/875) mengemukakan gagasan Hindu-Buddha Nirwana sebagai tujuan (baqo) kehidupan yang menyangkal-diri dan merendahkan diri (fana). Gagasan Hellenis dan Buddha beredar di dunia Muslim sebagai makna asing, sampai Junayd Al-Baghdadi (296/910) memadukannya dengan aliran cinta Tuhan asketis Arab. Ia memberinya istilah-istilah Islam atau Qurani. Untuk selanjutnya, tuga aliran ini bersatu dan mengalir bagai sungai besar.
PERKEMBANGAN
Tarekat, Ritual dan Literatur
Kaum sufi, atau penganut tasawuf,
melengkapi diri mereka dengan suatu aturan. Mereka melembagakan suatu ideologi
, organisasi, program, dan ritus inisiasi serta pemujaan untuk aturan itu. Pada
masa Al-Kufi dan Ibn Al-Adham, masjid merupakan tempat dimana praktik sufi
berlangsung. Segera kaum sufi mengembangkan praktik ini diluar waktu-waktu
shalat sehingga tidak mengganggu shalat kaum non-sufi. Mereka memilih tempat
terpisah yang jauh dari gangguan. Dengan demikian zawiyah, takiyyah, atau
ribath lahir sebagai lembaga yang terpisah dari masjid. Di sini, kaum sufi
melewatkan hari-hari mereka dan sebagian besar malam mereka dengan shalat,
berdoa, berdzikir kepada Allah. Mereka makan sedikit , hanya memakai selembar
pakaian wol, dan menjadikan lantai sebagai alas tidur mereka, yang jauh dari
kenikmatan dan kenyamanan rumah. Bersama mereka membentuk tarekat, suatu
komunitas otonom, yang terpisah dari umat. Meskipun tarekat terbuka bagi siapa
saja, tetapi ada syarat-syarat tertentu untuk menjadi anggota. Syarat tersebut
antara lain:
1. Keputusan untuk bergabung harus
benar-benar disadari secara pribadi. Semua harta harus ditinggalkan, untuk
tarekat, atau untuk keluarga atau orang miskin, sehingga anggota ini akan bebas
daro keterikatan dengan benda-benda duniawi.
2. Kepatuhan total merupakan keharusan,
terutama kepada sesepuh atau syaikh, guru tarekat, organisasi atau
persaudaraan, dan kepada orang yang diutus olehnya.
3. Setiap anggota baru harus melewati masa
percobaan. Setelah masa ini, calon anggota ditahbiskan menjadi anggota dan
diberikan pakaian wol biru. sementara semua sufi mempraktikkan ritual sufisme,
masing-masing tarekat melembagakan pengaturan ritualnya sendiri. Yang pertama
dan yang lazim adalah ritual zikir. Ritual ini terdiri dari doa dan wirid
berulang yang terkadang cepat dan sederhana , dengan menyebut satu nama Allah.
Tasawuf bertanggung jawab ataswarisan besar literature dalam bahasa Arab dan
bahasa Muslim lainnya. Kaum sufi melantunkan tema-tema puisi mereka dalam syair
yang sangat indah. Mereka memuja tuhan dan memohon rahmat serta pertolongan-nya
dengan sajak yang menyentuh hati. Di antara para penyair, yang paling dihormati
adalah Ibn Al- Faridh (632/1235), Sadi, Hafizh, dan Jalaluddin Ar-Rumi, Yang
Matsnawi-nya merupakan ensklopedi pengetahuan keagamaan dan etika.
Pemikiran Spekulatif
Al-Ghazali
Al-Ghazali
mengatakan bahwa kaum mutakallim mempertahankan keyakinan terhadap musuh
dan orang-orang yang salah menafsirkannya. Kaum itu menyampaikan prinsip dan
kategorinya dengan jelas agar dapat selalu dimanfaatkan untuk dipahami. Namun
dalam antusiasmenya, mereka memakai beberapa metode musuh-musuh mereka. Mereka
khususnya memakai postulat metafisika dan logika Yunani yang semakin menjauhkan
mereka dari pengetahuan islam. Kaum itu bersandar pada wahyu bukan pada akal
dan mengakuinya pada musuh mereka. Ini membuat diri meraka tidak meyakinkan. Kalam
mereka gagaaal menghentikan maraknya kontroversi, bahkan justru memperparah
kontroversi yang timbul.
Mengenai
kaum batiniyah, Al-Ghazali mencela mereka karena memanfaatkan orang-orang
kurang berpendidikan, dan mengajarkan doktrin esoteris yang destruktif tentang
otoritas pemimpin gaib yang menurut mereka bebas dari dosa. Keberatan kaum ini
terhadap rujukan sunni pada teks dan ijtihad salah sasaran, menurut Al-Ghazali.
Alasannya “teks yang terbatas itu tak dapat menjelaskan kasus-kasus realitas
yang tak terbatas”. Orang harus mematuhi teks bilamana tersedia jawabannya
dalam teks. Islam sendiri sudah mempunyai teladan Muhammad yang wahyu dan
sunnahnya masih hidup sampai sekarang.
Menegaskan
kembali pandangannya bahwa tasawuf merupakan pengetahuan pengetahuan sekaligus
perbuatan, Al-Ghazali mencela orang yang berupaya mencapai pengalaman mistis
degan terburu-buru. Dia juga menolak klaim sufi bahwa dalam pengalaman mistis
orang mencapai Tuhan dengan fusi atau menyatu dengan wujud Ilahiyah. Klaim
tersebut dipandang sebagai penghujatan. Persepsi yang benar tentang Tuhan
adalah persepsi adanya kehadiran transenden sebagai wujud yang memerintahkan.
Pengetahuan tantang Diri-Nya adalah bukan pengetahuan tentang Diri-Nya sendiri
tetapi pengetahuan tentang kehendak-Nya.
Kritik
terhadap para filososf dan karya mereka merupakan sumbangan terbesar
Al-Ghazali. Dia mengetahui dengan baik doktrin mereka, karena dia pernah
mempelajarinya semasa menjadi siswa, dan mengajarkannya ketika menjadi guru. Mengenai
kekeliruan pertama, Al-Ghazali meninjau argumen filosof bahwa materi
dapat rusak sedangkan jiwa tidak. Karena itu, materi adalah entitas material
yang terpisah, dan hanya jiwa yang abadi karena inilah esensi logos yang
merupakan ruh. Terhadap argumen ini, beliau mengatakan bahwa keadilan menuntut
bahwa orang yang sama baik jiwa dan raganya memenuhi apa yangmenjadi haknya
pada hari kiamat. Dan bilamana ada yang
kurang akan meruskkan keadilan Ilahiah, apalagi bila bertentangan dengan firman
Ilahi.
Mengenai
kekeliruan filosof yang kedua,beliau menolak klaim bahwa pengetahuan
tentang yang khusus berubah seperti yang memang terjadi bahwa pengetahuan tetap
sebelumnya tentang pengetahuan khusus yang berubah jelas mungkin. Karena Tuhan
tak mungkin berubah maka pengetahuan-Nya tentang yang universal saja yang tak
berubah.
Mengenai
kekeliruan yang ketiga, dan terlepas dari pembedaan Ibn Sina terhadap
keabadian waktu dan keabadian wujud, beliau mengatakan bahwa tidak dalam satu
kasus pun apa yang tidak abadi mulai dari yang abadi. Beliau menyimpulkan
pembedaan yang dibuat para filosof tak ada gunanya. Selanjutnya, filosof
mengatakan bahwa perintah untuk menciptakan dunia harus menandakan perubahan
dalam pikiran dan kehendak Tuhan. Beliau mengkritik para filosof karena menganggap
bahwa setiap peristiwa dalam waktu menunjukkan perubahan kesadarn Tuhan.
Al-Ghazali
membangun sistemnya dengan Tuhan sebagai titik awal dan fondasinya, tak seperti
filosof yang memulainya dengan indra atau akal. Dia meletakkan akal dalam iman,
dari mana akal menarik postulat utamanya. Kemudian iman memberi akal kebebasan
untuk menjadi sekritis yang dikehendakinya. Tanpa peletakkan itu, akal bisa
keliru dan tak dapat dipercaya. Tuhan dapat diketahui melalui dengan
karya-karya-Nya, aturan dan rancangan alam-Nya, pemeliharaan-Nya.
Terobosan
Al-Ghazali terdapat dalam kritiknya terhadap hubungan sebab-akibat
(kausalitas). Para filosof telah keliru dalam persepsi umum yang sederhana
untuk kebenaran. Mereka menganggap perlu apa yang sebenarnya tidak perlu.
Filosof mengatakan bahwa ada sebab, akibat harus terjadi tanpa mengemukakan
bukti kecuali bahwa akibat pada masa lalu timbul karena sebab yang sama sekali
tidak membuktikan keharusan yang mereka tegaskan.
Ibn ‘Arabi
Pemikirannya adalah yang paling
spekulatif dalam Islam. Tuhan, menurut pandangannya, adalah Esa, Mutlak, Sumber
segala wujud, Yang Esensi-Nya adalah wujud. Dunia diciptakan dan abadi. Dunia
diciptakan karena dunia ada dalam ruang dan waktu. Dunia abadi karena ada dalam
pengetahuan Tuhan. Jelas, dunia adalah Tuhan, Tuhan adalah dunia. Teori wilayah
ini, bersama dengan teori identifikasi Tuhan dengan dunia, membuat Ibn
‘Arabi kurang disukai. Teori-teorinya memberikan kaum sufi argumen untuk
menanggapi pengaruh Al-Ghazali, dan sebagai pendorong untuk semakin jauh dari
Islam normatif. Dalam panteisme, perbedaan antara kebaikan dan keburukan
bercampur, karena keduanya sama-sama eksis, sedangkan eksistensi dan keilahian
merupakan realitas yang sama. Begitu juga dengan pembedaan kita antara
kejelekan dan keindahan, dosa dan kebajikan, yang sama sekali dipandang relatif
oleh Ibn ‘Arabi. Kesimpulan akhir penalaran ini adalah larutnya perbedaan antar
agama-agama, termasuk Islam. Beliau mencapai dan mengungkapkan kesimpulan bahwa
semua agama satu, dan bahwa perselisihan, kompetisi, dan kontroversi agama sama
sekali tak ada artinya. Bahkan argumen dan perdebatan dalam agama beliau tak
ada artinya.
KERUNTUHAN
1. Kasyf (pencerahan gnostik). Menggantikan pengetahuan. Di bawah tasawuf, dunia
Muslim meninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan ilmiah yang rasional,
dengan upaya visi pengalaman mistis
2. Karamah (mukjizat kecil). Yang diajarkantasawuf
hanya mungkin dalam keadaan penyatuan atau komuni dengan Tuhan.
3. Ta’abbud. Kerelaan untuk meninggalkan aktivitas
sosial dan ekonomi untuk melakukan ibadah spiritualistik sepenuhnya.
4. Tawakal. Kepasrahan total pada faktor
spiritual untuk melahirkan hasil-hasil empiris, menggantikan keyakinan Muslim
terhadap kemujaraban yang pasti dari hukum Tuhan dalam alam dan dari keharusan
mutlak campur tangan manusia ke dalam rangkaian (nexus) sebab-akibat
alam.
5. Qiamat. Persetujuan secara sembunyi-sembunyi dan
pasif terhadap hasil tindakan kekuatan adialami yang berubah-ubah, menggantikan
taklif, atau kewajiban manusia untuk merajut, memotong, dalam membentuk
ulang ruang waktu untuk merealisasikan pola Ilahiah di dalamnya.
6. Fana’ dan Adam. Bukan realitas, efemeralitas dan
ketidakkepentingan dunia, menggantikan keseriusan Muslim menyangkut eksistensi.
7. Taat. Kepatuhan mutlak dan moral kepada
syaikh dan salah satu tarekat sufi menggantikan tauhid, pangakuan bahwa tidak
ada Tuhan kecuali Allah. [1]
[1] Ismail R.
Al-Faruqi dan Lois Lamnya Al-Faruqi. The Cultural
Atlas Of Islam. Terj. Ilyas Hasan. Atlas Budaya Islam. (Bandung: Mizan).
2000. Hlm 326-334
Tidak ada komentar:
Posting Komentar