Minggu, 07 Mei 2017

Tashawuf (Mistisisme)



ASAL-USUL
Tasawuf atau mengenakan pakaian wol. Adalah nama gerakan yang mendominasi pikiran dan hati kaum muslim selama seribu tahun, dan masih kuat tertanam dalam banyak kalangan di dunia muslim. Tasawuf memelihara jiwa mereka, menyucikan hati mereka, dan memenuhi kerinduhan mereka akan kesalehan, kebajikan, kebenaran, dan kedekatan dengan tuhan. Tasawuf tumbuh, berkembang dan dengan cepat bergerak kesetiap penjuru dunuia muslim. Tasawuflah yang membuat berjuta-juta orang masuk islam. Selain melahirkan sejumlah Negara militan dan gerakan sosiopolitis, tasawuf menjadi penyebab kemunduran kekuatan muslim. Tasawuf menjadi penyebab penukaran pengetahuan rasional kaum muslim dengan pengetahuan takhayul. Ia menjadi penyebab bagi kaum muslim untuk mengabaikan dunia dan memperhatikan akherat. Tasawuf merupakan gerakan yang walaupun besar kebaikannya juga besar keburukannya dalam sejarah peradaban Islam.

Tiga aliran pemikiran bebas mengisi ajaran tasawuf dan menentukan isi serta karakternya. Pertama, Islam membawa asketisisme gurun, suatu keengganan terhadap kehidupan urban dan menetap yang mewah, al-quran dan bacaannya, puisi arab dan doa kesalehan untuk memuji Tuhan, dan cinta kepada Tuhan serta kehadiran Ilahiah-Nya yang ditekankan Islam menciptakan tradisi kewalian sebagai pengabdian mutlak kepada-Nya dan Nabi-Nya. Kesalehan asketis ini menentang keterlibatan penuh dalam urusan duniawi. Kesalehan ini mendapat teladan dalam kehidupan para sahabat Nabi, Abu Dzarr Al-Ghifari ( 31/652) , pemerintah khalifah Umawi, Umar bin abdul aziz, dan perilaku alim Al-Hasan Al-Bashr (109/728). Kesalehan tasawuf tampaknya menguasai kehidupan Abu Hasyim Al-Kufi (158/776) sepenuhnya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya bersembahyang dan berdoa di Masjid Kufah. Visi tasawuf mengilhami puisi Rabiah Al-Adawiyyah (184/801) . Rabiah mengajarkan cinta kepada Tuhan yang suci dan murni karena cemas akan hukuman atau rindu akan pahala. Kedua, gnostisisme Aleksandrian dan Hellenisme Pythagorean, yang mempengaruhi Yudaisme dan Kristianitas, menguasai Timur Dekat selama seribu tahun sebelum datangnya Islam. Ketika rakyat Timur Dekat dan Afrika Utara masuk Islam, Adalah wajar bila kiasan dan gagasan gnostik terbawa dalam muatan spiritual mereka. Dialektika ruh dan materi cahaya dan gelap, langit tinggi dan bumi yang rendah merasuk ke mana-mana. Dua pemikir Mesir yang terpengaruh gnostisisme Hellenis mengarahkanarus ini untuk memadukan muatannya dengan muatan cinta asketis kepada Tuhan dalam aliran pribumi Arabia: Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (222/838) dan Dzun Nun Al-Mishri (246/861). Yang pertama mengajarkan doktrin kebenaran melalui pencerahan (isyraq), dan yang kedua mengajarkan kerinduan dan kemungkinan penyatuan kembali dengan Tuhan dalam ruh. Ini menyusul kenaikan melalui kebajikan dan penerungan. Ketiga, sebagai agama dominan dari sebagian besar provinsi di Asia yang dikuasai Islam, Buddhisme segera menjalankan pengaruhnya. Pengutukan Buddhisme terhadap dunia ini, dukungannya yang total terhadap kehidupan biarawan dan pertapaan, menemukan sarana pengungkapannya pada diri Ibrahim bin Al-Adham (159/777). Seperti dikatakan pengikutnya kemudian, kehidupan Ibrahim tak berbeda dengan kehidupan Buddha. Ibrahim berasal dari keluarga bangsawan, seorang pangeran yang berkuasa di Balkh. Ia tiba-tiba memutuskan meninggalkan kedudukan dan hartanya, keluarganya dan orang-orang yang dicintainya, untuk menjalani kehidupan asketis menyendiri di masjid, senantiasa berdzikir dan berdoa, mengabaikan makanan dan segala isi dunia. Abu Yazid Al-Bisthami (260/875) mengemukakan gagasan Hindu-Buddha Nirwana sebagai tujuan (baqo) kehidupan yang menyangkal-diri dan merendahkan diri (fana). Gagasan Hellenis dan Buddha beredar di dunia Muslim sebagai makna asing, sampai Junayd Al-Baghdadi (296/910) memadukannya dengan aliran cinta Tuhan asketis Arab. Ia memberinya istilah-istilah Islam atau Qurani. Untuk selanjutnya, tuga aliran ini bersatu dan mengalir bagai sungai besar.
PERKEMBANGAN
Tarekat, Ritual dan Literatur
            Kaum sufi, atau penganut tasawuf, melengkapi diri mereka dengan suatu aturan. Mereka melembagakan suatu ideologi , organisasi, program, dan ritus inisiasi serta pemujaan untuk aturan itu. Pada masa Al-Kufi dan Ibn Al-Adham, masjid merupakan tempat dimana praktik sufi berlangsung. Segera kaum sufi mengembangkan praktik ini diluar waktu-waktu shalat sehingga tidak mengganggu shalat kaum non-sufi. Mereka memilih tempat terpisah yang jauh dari gangguan. Dengan demikian zawiyah, takiyyah, atau ribath lahir sebagai lembaga yang terpisah dari masjid. Di sini, kaum sufi melewatkan hari-hari mereka dan sebagian besar malam mereka dengan shalat, berdoa, berdzikir kepada Allah. Mereka makan sedikit , hanya memakai selembar pakaian wol, dan menjadikan lantai sebagai alas tidur mereka, yang jauh dari kenikmatan dan kenyamanan rumah. Bersama mereka membentuk tarekat, suatu komunitas otonom, yang terpisah dari umat. Meskipun tarekat terbuka bagi siapa saja, tetapi ada syarat-syarat tertentu untuk menjadi anggota. Syarat tersebut antara lain:
1.      Keputusan untuk bergabung harus benar-benar disadari secara pribadi. Semua harta harus ditinggalkan, untuk tarekat, atau untuk keluarga atau orang miskin, sehingga anggota ini akan bebas daro keterikatan dengan benda-benda duniawi.
2.      Kepatuhan total merupakan keharusan, terutama kepada sesepuh atau syaikh, guru tarekat, organisasi atau persaudaraan, dan kepada orang yang diutus olehnya.
3.      Setiap anggota baru harus melewati masa percobaan. Setelah masa ini, calon anggota ditahbiskan menjadi anggota dan diberikan pakaian wol biru. sementara semua sufi mempraktikkan ritual sufisme, masing-masing tarekat melembagakan pengaturan ritualnya sendiri. Yang pertama dan yang lazim adalah ritual zikir. Ritual ini terdiri dari doa dan wirid berulang yang terkadang cepat dan sederhana , dengan menyebut satu nama Allah. Tasawuf bertanggung jawab ataswarisan besar literature dalam bahasa Arab dan bahasa Muslim lainnya. Kaum sufi melantunkan tema-tema puisi mereka dalam syair yang sangat indah. Mereka memuja tuhan dan memohon rahmat serta pertolongan-nya dengan sajak yang menyentuh hati. Di antara para penyair, yang paling dihormati adalah Ibn Al- Faridh (632/1235), Sadi, Hafizh, dan Jalaluddin Ar-Rumi, Yang Matsnawi-nya merupakan ensklopedi pengetahuan keagamaan dan etika.

Pemikiran Spekulatif
Al-Ghazali
            Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum mutakallim mempertahankan keyakinan terhadap musuh dan orang-orang yang salah menafsirkannya. Kaum itu menyampaikan prinsip dan kategorinya dengan jelas agar dapat selalu dimanfaatkan untuk dipahami. Namun dalam antusiasmenya, mereka memakai beberapa metode musuh-musuh mereka. Mereka khususnya memakai postulat metafisika dan logika Yunani yang semakin menjauhkan mereka dari pengetahuan islam. Kaum itu bersandar pada wahyu bukan pada akal dan mengakuinya pada musuh mereka. Ini membuat diri meraka tidak meyakinkan. Kalam mereka gagaaal menghentikan maraknya kontroversi, bahkan justru memperparah kontroversi yang timbul.
            Mengenai kaum batiniyah, Al-Ghazali mencela mereka karena memanfaatkan orang-orang kurang berpendidikan, dan mengajarkan doktrin esoteris yang destruktif tentang otoritas pemimpin gaib yang menurut mereka bebas dari dosa. Keberatan kaum ini terhadap rujukan sunni pada teks dan ijtihad salah sasaran, menurut Al-Ghazali. Alasannya “teks yang terbatas itu tak dapat menjelaskan kasus-kasus realitas yang tak terbatas”. Orang harus mematuhi teks bilamana tersedia jawabannya dalam teks. Islam sendiri sudah mempunyai teladan Muhammad yang wahyu dan sunnahnya masih hidup sampai sekarang.
            Menegaskan kembali pandangannya bahwa tasawuf merupakan pengetahuan pengetahuan sekaligus perbuatan, Al-Ghazali mencela orang yang berupaya mencapai pengalaman mistis degan terburu-buru. Dia juga menolak klaim sufi bahwa dalam pengalaman mistis orang mencapai Tuhan dengan fusi atau menyatu dengan wujud Ilahiyah. Klaim tersebut dipandang sebagai penghujatan. Persepsi yang benar tentang Tuhan adalah persepsi adanya kehadiran transenden sebagai wujud yang memerintahkan. Pengetahuan tantang Diri-Nya adalah bukan pengetahuan tentang Diri-Nya sendiri tetapi pengetahuan tentang kehendak-Nya.
            Kritik terhadap para filososf dan karya mereka merupakan sumbangan terbesar Al-Ghazali. Dia mengetahui dengan baik doktrin mereka, karena dia pernah mempelajarinya semasa menjadi siswa, dan mengajarkannya ketika menjadi guru. Mengenai kekeliruan pertama, Al-Ghazali meninjau argumen filosof bahwa materi dapat rusak sedangkan jiwa tidak. Karena itu, materi adalah entitas material yang terpisah, dan hanya jiwa yang abadi karena inilah esensi logos yang merupakan ruh. Terhadap argumen ini, beliau mengatakan bahwa keadilan menuntut bahwa orang yang sama baik jiwa dan raganya memenuhi apa yangmenjadi haknya pada hari kiamat.  Dan bilamana ada yang kurang akan meruskkan keadilan Ilahiah, apalagi bila bertentangan dengan firman Ilahi.
            Mengenai kekeliruan filosof yang kedua,beliau menolak klaim bahwa pengetahuan tentang yang khusus berubah seperti yang memang terjadi bahwa pengetahuan tetap sebelumnya tentang pengetahuan khusus yang berubah jelas mungkin. Karena Tuhan tak mungkin berubah maka pengetahuan-Nya tentang yang universal saja yang tak berubah.
            Mengenai kekeliruan yang ketiga, dan terlepas dari pembedaan Ibn Sina terhadap keabadian waktu dan keabadian wujud, beliau mengatakan bahwa tidak dalam satu kasus pun apa yang tidak abadi mulai dari yang abadi. Beliau menyimpulkan pembedaan yang dibuat para filosof tak ada gunanya. Selanjutnya, filosof mengatakan bahwa perintah untuk menciptakan dunia harus menandakan perubahan dalam pikiran dan kehendak Tuhan. Beliau mengkritik para filosof karena menganggap bahwa setiap peristiwa dalam waktu menunjukkan perubahan kesadarn Tuhan.
            Al-Ghazali membangun sistemnya dengan Tuhan sebagai titik awal dan fondasinya, tak seperti filosof yang memulainya dengan indra atau akal. Dia meletakkan akal dalam iman, dari mana akal menarik postulat utamanya. Kemudian iman memberi akal kebebasan untuk menjadi sekritis yang dikehendakinya. Tanpa peletakkan itu, akal bisa keliru dan tak dapat dipercaya. Tuhan dapat diketahui melalui dengan karya-karya-Nya, aturan dan rancangan alam-Nya, pemeliharaan-Nya.
            Terobosan Al-Ghazali terdapat dalam kritiknya terhadap hubungan sebab-akibat (kausalitas). Para filosof telah keliru dalam persepsi umum yang sederhana untuk kebenaran. Mereka menganggap perlu apa yang sebenarnya tidak perlu. Filosof mengatakan bahwa ada sebab, akibat harus terjadi tanpa mengemukakan bukti kecuali bahwa akibat pada masa lalu timbul karena sebab yang sama sekali tidak membuktikan keharusan yang mereka tegaskan.
Ibn ‘Arabi
            Pemikirannya adalah yang paling spekulatif dalam Islam. Tuhan, menurut pandangannya, adalah Esa, Mutlak, Sumber segala wujud, Yang Esensi-Nya adalah wujud. Dunia diciptakan dan abadi. Dunia diciptakan karena dunia ada dalam ruang dan waktu. Dunia abadi karena ada dalam pengetahuan Tuhan. Jelas, dunia adalah Tuhan, Tuhan adalah dunia. Teori wilayah ini, bersama dengan teori identifikasi Tuhan dengan dunia, membuat Ibn ‘Arabi kurang disukai. Teori-teorinya memberikan kaum sufi argumen untuk menanggapi pengaruh Al-Ghazali, dan sebagai pendorong untuk semakin jauh dari Islam normatif. Dalam panteisme, perbedaan antara kebaikan dan keburukan bercampur, karena keduanya sama-sama eksis, sedangkan eksistensi dan keilahian merupakan realitas yang sama. Begitu juga dengan pembedaan kita antara kejelekan dan keindahan, dosa dan kebajikan, yang sama sekali dipandang relatif oleh Ibn ‘Arabi. Kesimpulan akhir penalaran ini adalah larutnya perbedaan antar agama-agama, termasuk Islam. Beliau mencapai dan mengungkapkan kesimpulan bahwa semua agama satu, dan bahwa perselisihan, kompetisi, dan kontroversi agama sama sekali tak ada artinya. Bahkan argumen dan perdebatan dalam agama beliau tak ada artinya.



            KERUNTUHAN
1.      Kasyf (pencerahan gnostik). Menggantikan pengetahuan. Di bawah tasawuf, dunia Muslim meninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan ilmiah yang rasional, dengan upaya visi pengalaman mistis
2.      Karamah (mukjizat kecil). Yang diajarkantasawuf hanya mungkin dalam keadaan penyatuan atau komuni dengan Tuhan.
3.      Ta’abbud. Kerelaan untuk meninggalkan aktivitas sosial dan ekonomi untuk melakukan ibadah spiritualistik sepenuhnya.
4.      Tawakal. Kepasrahan total pada faktor spiritual untuk melahirkan hasil-hasil empiris, menggantikan keyakinan Muslim terhadap kemujaraban yang pasti dari hukum Tuhan dalam alam dan dari keharusan mutlak campur tangan manusia ke dalam rangkaian (nexus) sebab-akibat alam.
5.      Qiamat. Persetujuan secara sembunyi-sembunyi dan pasif terhadap hasil tindakan kekuatan adialami yang berubah-ubah, menggantikan taklif, atau kewajiban manusia untuk merajut, memotong, dalam membentuk ulang ruang waktu untuk merealisasikan pola Ilahiah di dalamnya.
6.      Fana’ dan Adam. Bukan realitas, efemeralitas dan ketidakkepentingan dunia, menggantikan keseriusan Muslim menyangkut eksistensi.
7.      Taat. Kepatuhan mutlak dan moral kepada syaikh dan salah satu tarekat sufi menggantikan tauhid, pangakuan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. [1]


[1] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamnya Al-Faruqi. The Cultural Atlas Of Islam. Terj. Ilyas Hasan. Atlas Budaya Islam. (Bandung: Mizan). 2000. Hlm 326-334

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN PENELITIAN TAKHRIJ HADIST TENTANG “MENCACI-MAKI ORANG-ORANG MUSYRIK”

LAPORAN PENELITIAN TAKHRIJ HADIST TENTANG “MENCACI-MAKI ORANG-ORANG MUSYRIK” ...